Minggu, 22 Januari 2017

Orang-orang Belanda yang mulai berdatangan ke Nusantara pada awal abad 17, umumnya adalah pelaut-pedagang. Perhatian mereka terhadap laut lebih diutamakan untuk mencari jalur-jalur baru dan untuk menjamin keselamatan pelayaran untuk kepentingan perdagangan mereka. Belum ada perhatian terhadap sumberdaya yang terkandung dalam laut itu sendiri. Lama kelamaan, mulai timbul minat pada beberapa kalangan untuk mengoleksi biota laut karena ternyata biota laut yang ada di Nusantara sangat beraneka ragam dan indah, jauh berbeda dari apa yang ada di negeri mereka di Eropa. Kegiatan- kegiatan semacam ini dilakukan oleh para pehobi secara amatiran. Perhatian akan aspek ilmiahnya baru dimulai oleh Rumphius di Ambon, sekitar petengahan abad 17.
Gambar 1. Kiri: Georgius Everhardus Rumphius. Kanan: Salah satu mahakaryaRumphius, D’Amboinsche Rariteitkamer (1750). 
Nama aslinya adalah Georg Eberhard Rumpf, tetapi kelak ia lebih dikenal dengan nama versi Latinnya,   Georgius Everhardus Rumphius, atau disingkat Rumphius. Ia lahir di Wölfersheim, tak jauh dari Frankfurt (Jerman), pada tahun 1627 dari ayah Jerman dan ibu Belanda. Ayahnya bekerja sebagai seorang insinyur, dan karenanya Rumphius muda mendapatkan  pendidikan  yang  cukup  baik.  Pada  usia  18  tahun  ia  direkrut  oleh  Republik Venesia. Setelah itu ia ikut kapal di Holland, tetapi ternyata   ia dan kawan-kawan sekapal ditipu.  Mereka  ternyata  dikontrakkan  ke  West  Indische-Compagnie  (WIC)  Belanda,  yang sedang menuju ke koloni Belanda di Pernambuco, di bagian timur-laut Brazil. Entah apa yang terjadi,  ia  tak  pernah  sampai  ke  sana,  dan  kemudian  ia  kembali  ke  kampungnya  setelah beberapa saat berdiam di Portugal.

Pada tahun 1652 ia masuk dinas militer Belanda dalam Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC/ Perserikatan Dagang Hindia Timur), dan tahun itu juga ia diberangkatkan ke ibu kota kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Dari sini ia kemudian ditugaskan ke Ambon,  dan  ternyata  ia tak  pernah  kembali  lagi  hingga  akhir  hayatnya.  Alam  tropika  di Maluku, yang begitu kaya dan subur, ternyata banyak menyedot perhatian prajurit belia itu. Ia menikahi seorang gadis Ambon, Susanna, dan  segera mempelajari vegetasi dan kehidupan hewan di sekitarnya yang mempunyai keanekaragaman hayati yang begitu kaya. VOC tampaknya melihat kemampuan istimewanya disini, hingga akhirnya ia segera dibebaskan dari dinas  militer,  dan  diberi  tugas-tugas  sipil  dengan jabatan  sebagai  Juru  Beli  (Koopman). Meskipun  tugas-tugas  resminya  cukup  banyak,  ia  tetap melanjutkan  pengkajian-pengkajian alam, dengan minat  utama pada botani dan zoologi.

Selama kruang lebih  50  tahun  Rumphius  tinggal  di  Ambon,  ia telah  menghasilkan beberapa karya  yang mengagumkan.  Karya monumentalnya  adalah  Hebarium Amboinense, yang berupa perian atau deskripsi mengenai tumbuhan, lingkungannya dan juga kegunaannya untuk obat-obatan, baik itu   tumbuhan yang hidup di darat maupun yang di laut. Salah satu lukisan tertua mengenai alga laut dari perairan Nusantara tercantum dalam buku itu. Mahakaryanya yang lain yang juga sangat tenar adalah D’Amboinsche Rariteikamer,   yang menguraikan tentang fauna laut Maluku, batuan fossil dan juga objek-objek pra-sejarah.

Kedua mahakaryanya itu dilengkapi dengan ilustrasi yang indah disertai detail yang sangat akurat, hingga sampai kini pun mahakaryanya itu banyak menjadi sumber rujukan. Naskahnya yang ketiga adalah  Amboinsche Dierboek yang mengenai kehidupan satwa, tetapi sayang naskah itu habis dilalap api ketika terjadi kebakaran besar yang melanda Ambon tanggal 11 Januaari 1670. Dengan peristiwa kebakaran itu boleh dikatakan seluruh karyanya sebelum tahun 1670 ludes. 

Rumphius sendiri tak pernah melihat hasil akhir karya-karya besarnya itu. Pada usia setengah baya ia menderia penyakit mata glaucoma, dan akhirnya menjadi buta total tahun 1674. Musibah ini disusul kemudian dengan meninggalnya istri dan seorang putrinya yang direnggut bencana gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang melanda Ambon di tahun 1674. Untuk beberapa waktu semangat hidupnya mengendor. Namun berangsur-angsur ia mulai pulih, gairah kerjanya   kembali menggelora dengan daya tahan yang luar biasa untuk meneruskan karya besarnya.

Gambar 2. Petikan ilustrasi dari karya Rumphius. Kiri: Beberapa jenis siput dari bukuD’Amboinsche Rariteitkamer. Kanan: Rumput laut (alga) dari buku Herbarium Amboinense.

Kebutaannya tidak menghalanginya untuk meneruskan kerjanya. Ia dibantu dengan mata dan tangan orang lain yang dengan setia mendampinginya menyelesaikan karya-karya besarnya. Seorang anak laki-lakinya dan beberapa tenaga lain direkrut oleh VOC untuk membantunya. Oleh sebab itu ia sering dijuluki sebagai “si buta yang bisa melihat dari Ambon” (The blind seer of Ambon). Kurang lebih 30 tahun dari bagian terakhir masa hidupnya dijalaninya dalam “gelap gulita” sampai akhir hayatnya di tahun 1702. 

Karya-karya agungnya baru diterbitkan setelah ia wafat. Karyanya D’Amboinsche Rariteitkamer diterbitkan pertama kali tahun 1705 (edisi ke-2 terbit tahun 1740 dan edisi ke-3 tahun 1741), sedangkan karyanya yang paling agung  Herbarium Amboinense, baru diterbitkan hampir 40 tahun kemudian setelah kematiannya, antara tahun 1741-1750.   Herbarium Amboinense terbit dalam enam volume tebal, dengan total 1.660 halaman, hampir 700 gambar dan perian (deskripsi) tentang sekitar 1.200 jenis tumbuhan.

Riwayat perjalanan naskah   Herbarium Amboinense ini juga sangat dramatis. Mula- mula naskah itu dikirim dari Ambon ke Batavia (Jakarta) tahun 1690 untuk selanjutnya diteruskan ke negeri Belanda untuk diterbitkan disana. Mengingat perjalanan sangat jauh yang harus ditempuh yang tentu penuh risiko, maka Gubernur Jenderal Camphuys di Batavia segera memerintahkan untuk membuat dulu duplikatnya atau salinannya untuk ditinggalkan di Batavia. Benar saja, bahwa naskah aslinya yang dibawa oleh kapal Waterland itu tak pernah sampai ke Belanda. Di tengah jalan kapal itu dihadang dalam satu pertempuran laut dengan Perancis tanggal 12 September 1692, hingga kapal itu tenggelam  beserta seluruh   isinya. Naskah asli pun hilang. Demikianlah, upaya dimulai kembali dari awal berdasarkan duplikat naskah yang masih ada di Batavia. Tanggal 8 Februari 1696 naskah duplikat dikirim lagi dengan kapal Sir Janslandt, dan dapat tiba dengan selamat di Belanda.

Tetapi setelah naskah ini tiba di Belanda, para penentu kebijakan VOC disana (Heeren Zeventien/ Dewan Tujuhbelas) tidak serta merta menyetujui untuk menerbitkan naskah itu. Banyak pertimbangannya, antara lain karena naskah itu beisikan hal-hal yang dinilai sensitif yang dapat mempengaruhi usaha perdagangan mereka. Bahkan informasi-informasi yang dinilai semestinya dirahasiakan dari pesaing-pesaing dagang mereka dari bangsa lain. Hampir 40 tahun setelah kematian Rumphius barulah karya-karya agungnya itu disetujui untuk diterbitkan.

Pada awalnya, Rumphius menulis naskahnya dalam bahasa Latin dengan judul Herbarium Amboinense, tetapi kemudian diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda menjadi Amboinsche  Kruidboek.  Buku  ini  memberikan  deskripsi  tumbuh-tumbuhan  yang  umum dijumpai di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, baik itu berupa pohon, perdu, semak, maupun tumbuhan air. Deskripsinya   mencakup nama-nama jenis tumbuhan dalam berbagai bahasa (Latin, Belanda, Melayu, dan bahasa-bahasa lokal di Maluku), habitatnya, pemanfaatannya dan juga hewan dan serangga yang berasosiasi dengannya. Karya besar Rumphius itu terbit sebelum Linnaeus dengan karyanya Species plantarum (1753) dijadikan sebagai titik referensi awal dalam sistem penamaan atau nomenklatur tumbuhan yang kita kenal sekarang ini. Oleh karena itu nama-nama ilmiah yang diberikan Rumphius kemudian banyak perlu direvisi. 

Rumphius juga meggambarkan produk-produk  yang dapat dihasilkan dari tumbuhan tertentu, lokasi dimana bisa dijumpai, dan bagaimana cara membudidayakannya. Selain itu ia juga memberikan gambaran tentang tumbuhan yang mempunyai kaitan dengan tradisi atau adat istiadat penduduk setempat.

Mengenai naskah   D’Amboinsche Rariteitkamer,   Rumphius banyak memberikan deskripsi mengenai jenis-jenis hewan laut yang terdapat di sekitar Ambon seperti udang, kepiting, kerang, siput, bintang laut, bulu babi (sea urchin), karang dan lainnya. Selain itu, juga mencakup beberapa hal mengenai mineral dan peninggalan  pra-sejarah  yang ditemukannya di sekitar Ambon. Naskahnya kemudian diterbitkan oleh François Halma di Amsterdam tahun 1705. Rumphius mampu menuliskan sesuatu  dengan  gaya  yang memukau misalnya dalam menggambarkan kehidupan hewan, sebaran geografinya, pemanfaatannya oleh masyarakat pribumi, dan sebagainya. Demikian pula bagaimana hewan laut melekat di substratnya, atau adaptasinya dengan warna sesuai lingkungannya.

Gambar 3. Rumah tinggal Rumphius di Ambon, dipotret sekitar tahun 1910. (id.wikipedia.org)

Ia juga menggambarkan kehidupan cacing yang disebut “cacing wawo” (Lycidice oele), yang siklus hidupnya sampai sekarang pun masih diselimuti misteri. Cacing laut ini muncul hanya sekali setahun dalam populasi yang luar biasa banyaknya dan terjadi hanya pada hari ketiga atau keempat setelah bulan purnama di bulan Februari atau Maret. Munculnya dimulai setelah matahari terbenam sampai keesokan harinya setelah matahari terbit. Setelah itu cacing ini pun lenyap dan baru akan muncul kembali tahun berikutnya dalam siklus yang sama. Pada saat itu penduduk setempat memanen cacing itu secara besar-besaran yang merupakan bahan makanan istimewa. Bagaimana siklus itu bisa terjadi hanya sekali dalam setahun setelah bulan purnama merupakan pertanyaan yang hingga sekarang pun belum dapat terungkap dengan jelas.

Selain mengenai hewan laut, Rumphius juga mengungkapkan beberapa hal mengenai mineral, geologi dan objek-objek pra-sejarah secara singkat. Menurut seorang tokoh yang tenar dalam arkeologi Nusantara, Heine-Geldern (1945), Rumphius adalah ilmuwan Eropa pertama yang mempunyai perhatian akan masalah prasejarah di negeri ini. Dalam buku  D’Amboinsche Raiteitkamer, Rumphius memberikan tempat satu bab khusus untuk membahas kapak batu dan satu bab lainnya untuk kapak perunggu dari zaman pra-sejarah.

Gambar 4. Kiri: Para pejabat Hindia Belanda meletakkan karangan bunga di Monumen Rumphius, sekitar tahun 1930. Monumen ini kemudian hancur dilanda bom dalam Perang Dunia II. Kanan: Monumen Rumphius dibangun kembali tahun 1996 dan direlokasi di halaman SMA Xaverius, Jalan Pattimura, Ambon.

Hanya ada satu naskah Rumphius yang diterbitkan ketika ia masih hidup, yakni laporannya  yang berjudul  “Waerachtigh  Verhael  van  der  Schierlijke  Aerdbevinge”  (Kisah Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat), yang dicetak tahun 1675. Laporan itu menguraikan secara rinci peristiwa gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang menghantam Ambon dan sekitarnya pada tanggal 17 Februari 1674 yang merenggut korban lebih 2.200 jiwa. Bencana ini dimulai  pada malam hari ketika masyarakat Cina di Ambon sedang ramai merayakan hari raya mereka. Dilaporkannya bumi bergerak bagai berayun-ayun, lonceng gereja berdentang sendiri, rumah-rumah runtuh, bukit longsor, tanah merekah lebar, jembatan runtuh, banjir dimana-mana, laut pun mengering kemudian disusul gelombang dahsyat menghantam desa-desa di tepi pantai, mayat-mayat  bergelimpangan  dimana-mana,  manusia  yang  panik  dan  tak  berdaya.  Ini merupakan laporan tertulis tertua mengenai gempa dan tsunami di Indonesia. Bencana itu juga mengakibatkan Rumphius kehilangan istri dan seorang putrinya yang tertimpa reruntuhan dinding yang roboh.

Menjelang usianya yang semakin senja, dari rumahnya di Pulau Ambon, ia dengan gairah melakukan banyak korespondensi dengan berbagai tokoh-tokoh terkemuka, baik di Asia maupun di Eropa. Ia pun menjadi cukup tenar dan akhirnya diangkat sebagai anggota Academia Naturae  Curiosorum  di Vienna  tahun  1681.  Akademi  ini  memberikan  gelar  penghargaan Plinius Indicus   kepadanya, yang sangat dibanggakan olehnya. Ia akhirnya berpulang pada tanggal 15 Juni 1702 dalam usia 75 tahun.

Rumphius memang lahir sebagai orang Jerman, kemudian menjadi warga Belanda, dan setelah tinggal selama 50 tahun sampai akhir hayatnya menyatu dengan alam dan lingkungan Ambon, boleh dikatakan ia pun sudah menjadi orang Ambon. Untuk mengenang jasanya Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendirikan sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen Rumphius. 

Monumen Rumphius ini kemudian hancur dilanda bom dalam Perang Dunia II yang lalu.  Di kemudian hari monumen Rumphius dibangun kembali dan direlokasi di halaman Sekolah SMA Xaverius, Jalan Pattimura,  Ambon. Monumen Rumphius yang baru ini diresmikan oleh Walikota Madya Ambon, Johanes Sudiono, tanggal 22 April 1996.

Di samping itu, dapat dicatat bahwa enam mahakarya Rumphius yang sangat bersejarah itu  kini terdapat pula dalam koleksi Perpustakaan Rumphius yang terletak di Jalan Pattimura, di samping Katedral, Jalan Pattimura, Ambon,



----- Anugerah  Nontji (22/01/2017)


PUSTAKA

Buijze, W. 1998. R. E. Rumphius: Waerachtigh Verhael, van der Schriekelijke Aerdbevinge.Dutch transcription and Edition (with   an English   and Indonesian Translation). Nedelandse Ambassade.
Heine-Geldern, R. von. 1945. Prehistoric research in the Netherlands Indies. In Honig, P. & F.

Andersen (Editors). The Science and Scientist in the Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Suriname and Curacao. New York: 129-167.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta: 356 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Pangemanan, F. H. 2012. Enam mahakarya Rumphius tersimpan di Perpustakaan Rumphius

Ambon. Harian Suara Maluku 24 Februari 2012. 
Sirks, M. J. 1945. Rumphius, the blind seer of Amboina. In Honig, P. & F. Anderson (Eds.).

Science and Scientists in Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Surinama and Curacao, New York: 295-308.

van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 30-41

Veldkamp, J. F. 2011. Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702), the blind seer of Ambon. Garden’s Bulletin Sngapore 63 (1&2): 1-15

Zanefeld, J. S. 1950. A review of three centuries of physiological work and collectors in Indonesia (1650 – 1959). Organization of Scientific Research 21: 1-16.

Sample Text

Post Top Ad

Author Details

Video of the Day

Our Team

Post Top Ad

Know us

Contact us

Nama

Email *

Pesan *

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget