Jumat, 24 Februari 2017

Teori tentang tektonika lempeng (plate tectonics) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang baru mendapatkan tempat yang kokoh diterima dalam dunia ilmu pengetahuan sejak tahun 1960-an. Dalam konsep ini kulit bumi dianggap terdiri dari lempeng-lempeng yang plastis dan lentur yang senantiasa bergerak relatif antara satu dengan lainnya. Dalam perbenturan dan pergesekan antar lempeng itu kemudian dapat terjadi lempeng yang satu (misalnya lempeng samudra) membentur dan menukik ke bawah lempeng lainnya  (misalnya lempeng benua),  dan di lapisan yang menukik itu terjadi pelepasan energi yang sangat besar yang bisa menimbulkan gempa tektonik. Bila sumber gempanya berada di tengah samudra dapat menimbulkan tsunami yang mengakibatkan bencana besar di kawasan pantai.  Terbentuknya rantaian  gunung api  dan  palung-palung laut-dalam,  dan terbentuknya sumber-sumber mineral juga dapat diterangkan dengan teori tektonika lempeng.

Tetapi teori tektonika lempeng tidak datang begitu saja. Ada beberapa perkembangan ilmu pengetahuan sebelumnya yang ikut meletakkan dasar atau memberikan kontribusi untuk tegak berdirinya teori tektonika lempeng ini. Salah  satunya  adalah  penelitian mengenai anomali gravitasi (gaya tarik bumi) seperti yang dipelopori oleh Vening Meinesz, yang terkenal dengan penelitiannya   dengan    menggunakan kapal selam di perairan Nusantara. 

Gambar 1. Vening Meinesz dengan alat gravimeternya. (en.wikipedia.org)
Vening   Meinesz   (lengkapnya Felix Alexander Vening Meinesz) lahir di ‘s Gravenhage (the Hague), Belanda, tahun 1887. Ayahnya adalah walikota (burgemeester) Rotterdam, kemudian juga di Amsterdam. Meinesz adalah jebolan Institute of Technology di Delft (1910) dan kemudian mendapatkan gelar doktornya di University of Utrecht (1915). Dari segi latar belakang pendidikannya, ia adalah seorang geodesist atau ahli geodesi, yakni ilmu tentang   pengukuran dan pemetaan permukaan bumi, yang juga mencakup permukaan dasar laut. Perhatian awalnya  adalah mengenai penyimpangan lokal  terhadap  garis tegak unting- unting (plumb line), yang diperlukan untuk mengoreksi berbagai ketidak-beraturan dalam survei triangulasi. Survei triangulasi adalah penggunaan metode yang cermat dalam pemetaan posisi geografis suatu titik dengan menggunakan sistem segitiga yang “diikat” terhadap posisi tertentu yang sudah diketahui.

Dalam surveinya di lingkungan yang banyak berair di Holland, ia selalu menghadapi masalah karena platform-nya untuk bekerja di atas air selalu bergoyang, tidak bisa benar-benar stabil, hingga hasil pengukurannya pun tidak secermat seperti bila dilakukan di darat. Untuk mengatasi hal itu, dibuatnya alat sederhana berupa sepasang bandul (pendulum) yang mencatat deviasi  (simpangan)  ayunan  bandul  itu  untuk  mengoreksi  noise  (ketidak-beraturan).  Ia kemudian menemukan rumus Vening Meinesz yang menghubungkan deviasi garis vertikal dari garis tegak unting-unting dengan anomali gravitasi (gaya tarik bumi).

Pengalamannya ini  menantangnya untuk kemudian melakukan pengukuran gravitasi di laut. Karena gravitasi merupakan suatu percepatan (accelaration) maka tentulah diperlukan platform yang sangat stabil untuk pengukurannya.  Ia melihat bahwa satu-satunya jalan untuk bisa mendapatkan platform kerja yang benar-benar stabil di laut adalah dengan menggunakan kapal selam. Di bawah permukaan laut kapal selam akan dapat diam stabil, apalagi dalam keadaan menyelam kapal itu tidak menggunakan mesin yang menimbulkan getaran tetapi cukup hanya dengan tenaga baterai. Alatnya yang dikenal sebagai Meinesz gravimeter (alat ini kemudian beberapa kali telah direvisi) dipasang pada bidang gimbal (yang selalu berposisi horizontal, seperti tempat kedudukan kompas di kapal) dan ternyata dengan itu ia bisa mendapatkan ketelitian pengukuran gravitasi yang sangat cermat, seimbang dengan bila dilakukan di darat. Tentu saja semua ini dimungkinkan karena adanya kerjasama yang baik dengan pihak Angkatan Laut Belanda.

Dari situ dimulailah penjelajahan petualangannya  untuk mengukur gravitasi di perairan Hindia Belanda (Nusantara) yang topografi dasar lautnya sangat kompleks. Pelayaran pertamanya menuju Nusantara dilaksanakan tahun 1923, lewat Terusan Suez, dengan menggunakan kapal selam Belanda yang bernama K-II. Inisial  “K” pada nama kapal selam itu (dan juga pada beberapa kapal selam lainnya) berasal dari kata “kolonien”  yang berarti koloni atau daerah jajahan. Pada dekade itu memang Belanda sedang memperkuat kemampuan armada angkatan  lautnya  di  daerah  jajahannya,  termasuk  di  Hindia  Belanda  dengan  mengerahkan beberapa kapal selam, yang akan bertugas sebagai kapal patroli (submarine patrol boat). Tetapi Meinesz adalah ilmuwan sipil yang merupakan penumpang istimewa di kapal selam itu. Semua rencananya untuk menyelam dan mengukur gravitasi  di laut selalu mendapat bantuan penuh. Meinesz sendiri, yang mempunyai postur tubuh tinggi besar, sering merasa kikuk bekerja di kapal selam yang semua serba sempit dan terbatas.

Gambar 2. Atas: Kapal selam K-II berlayar di permukaan. Bawah: Kapal selam K-XIII di pelabuhan Surabaya. (www.dutchsubmarines.com) 
Di Hindia Belanda (Nusantara) Meinesz mendapatkan kesempatan untuk menggunakan beberapa kapal selam untuk berbagai ekspedisi gravitasinya, selain dengan K-II (1923) juga dengan  kapal selam  K-XI  (1925)  dan  K-XIII  (1926-1927).  Alatnyapun  terus  menerus ditingkatkan ketelitiannya, hingga alat yang kemudian lebih dikenal sebagai Vening-Meinesz Gravimeter itu merupakan alat perekam gravitasi yang diandalkan yang kemudian digunakan orang  dimana-mana sampai lama  kemudian  (baru  35  tahun  kemudian muncul  instrumen  Askania, yang mengukur gravitasi yang bekerja   berdasarkan sistem pegas, dengan ketelitian yang sama, yang dapat dioperasikan pada kapal permukaan). 

Keberhasilan Meinesz di Nusantara membuat petualangan survei gravitasinya meluas  sampai ke Pasifik, bahkan juga sampai ke Karibia dan Mediterranea (Laut Tengah) dan dengan menggunakan kapal selam dari berbagai negara, antara lain dengan kapal selam Angkatan Laut Amerika Serikat dan kapal selam Angkatan Laut Italia. Meinesz telah mencatat rekor dengan total jarak pelayaran sepanjang 100.000 mil dengan kapal selam, pencapaiannya yang kemudian dibukukan kisahnya oleh Chambon (1939) berjudul: 100.000 Zeemijl per Onderzeeboot met Professor Vening Meinesz (100.000 mil laut dengan kapal selam bersama Professor Vening Meinesz).

Gambar 3. Sabuk Meninesz (Meinesz Belt) menunjukkan perairan dengan anomali gravitasi negatif yang melengkung mulai dari sebelah barat Sumatra , Selatan Jawa dan Nusa Tenggara membelok ke Laut Banda, Maluku Utara sampai ke Filipina dengan jarak sekitar 8.000 km (Sumber:  Vening Meinesz, 1934; Katili, 1989) 
Dari sekian banyak pengalamannya, temuannya di Nusantara memberikan kontribusi paling penting dan bersejarah dalam perkembangan ilmu pengetahuan kebumian. Bermula dari pengukuran gravitasinya di Samudra Hindia di sebelah selatan Jawa, yang di dasar lautnya terdapat Palung Jawa (Java Trench) dengan kedalaman maksimum sekitar 7.000 m. Disini Meinesz menemukan anomali gravitasi negatif yang maksimum. Ternyata kemudian anomali gravitasi negatif ini ditemukan juga pada jalur yang memanjang yang terbentang mulai dari sebelah barat Sumatra, melengkung ke sebelah   selatan Jawa dan Nusa Tenggara, kemudian membelok ke utara ke Laut Banda, selanjutnya ke Laut Maluku sampai ke Filipina, sepanjang kurang lebih 8.000 km (Gambar 3). Jalur dengan anomali gravitasi negatif ini kemudian dikenal sebagai Meinesz Belt (Sabuk Meinesz).

Gambar 4. Ilustrasi konseptual Vening Meinesz  yang menggambarkan sebagian dari penampang bumi yang menunjukkan terjadinya arus konveksi di mantel  bumi,
Pertanyaanya adalah: mengapa di jalur ini terdapat anomali gravitasi negatif? Besarnya gravitasi sejalan dengan massa kerak bumi yang ada di bawahnya. Defisiensi atau ekses massa pada porsi manapun kerak bumi ini dimanifestasikan dengan adanya anomali, bisa positif atau pun negatif. Terdapatnya palung laut-dalam ternyata menghasilkan anomali gravitasi yang negatif,  jadi seolah-olah ada gaya maha besar misterius yang menarik dasar laut di palung itu ke dalam perut bumi, dan bersama dengan itu ikut menyeret pula gravitasi hingga menimbulkan anomali negatif.   Meinesz pun berteori bahwa ini hanya mungkin terjadi bila kerak bumi ini bersifat plastis atau lentur yang mengambang di atas mantel bumi, dan karena pemanasan dari dalam  inti  bumi  akan  terjadilah  arus  konveksi  (convection  current)  yang  berputar vertikal (Gambar 4). Di tempat dua arus konveksi itu bertemu di permukaan maka keduanya akan tenggelam ke bawah. Inilah  yang menyeret dasar laut ke bawah yang akan membentuk jalur palung yang dikenal dengan Meinesz down-buckling. Teorinya tentang arus konveksi ini, yang tertuang dalam publikasinya tahun 1934 dengan judul Gravity and the Hypothesis of Convection Currents in the Earh menjadi sangat tersohor, yang menjadi dasar yang kokoh untuk pengembangan teori tektonika lempeng di kemudian hari.

Gambar 5. Sultan Bacan (duduk, tengah) berkunjung dan ikut menyelam dengan Kapal Selam K- XIII dari Ternate ke Bacan (Chambon, 1939)
Hasil kerja Meinesz di Nusantara mengenai gravitasi telah mengilhami banyak negara lain untuk melakukan pengukuran yang sama seperti Amerika Serikat, Italia, Russia, Inggeris dan lainnya. Keberhasilannya juga menjadi contoh bagi negara lain akan pentingnya kerjasama antara pihak ilmuwan sipil dan  pihak angkatan laut.

Ketokohan Meinesz sebagai seorang science leader telah mengantarnya mendapat penghargaan dunia dan sebagai anggota dalam banyak organisasi ilmiah internasional. Di samping itu, Meinesz juga dikenal sebagai public communicator yang baik, yang mengkampanyekan  pentingnya  kerja  sama  antara  pihak  ilmuwan  sipil  dan  angkatan  laut. Dengan kapal selam O-16 ketika berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1937, Meinesz diterima oleh Presiden Roosevelt. Petualangannya dengan kapal selam   K-XVII juga pernah diangkat dalam film bioskop yang populer di Holland tahun 1936, dimana ia beserta para awak kapal selam menjadi bintangnya.

Tampaknya Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda ketika itu meneruskan kebijakan yang dikenal sebagai   gunboat-science policy yang dimulai sejak akhir abad 19.   Kebijakan itu bermata ganda, yakni selain mendukung kegiatan ilmiah juga untuk mengibarkan bendera Belanda, untuk menegaskan keberadaan kekuatan armada angkatan lautnya di seluruh perairan Hindia-Belanda.  Ketika kapal selam K-XIII tiba di Ternate (Maluku  Utara),  Sultan Bacan mengadakan kunjungan ke kapal tersebut, bahkan ikut serta menyelam dalam pelayaran singkat dari Ternate ke Bacan. Ketibaan Sultan Bacan dengan kapal selam di kampung halamannya tentu saja amat menggemparkan. Beliau disambut masyarakatnya dengan sangat meriah, dan tentu saja peristiwa itu merupakan bagian   dari kampanye   membangkitkan kepercayaan dan kekaguman atas kekuatan Angkatan Laut Hindia-Belanda.

Ketika Meinesz wafat pada tahun 1966, penelitian mengenai kemaknitan (magnetism) di dasar laut telah berkembang dan  memberikan  bukti  yang sangat kuat bahwa dasar laut di samudra memang bisa merekah dan tumbuh melebar (sea floor spreading) yang kemudian mengantarkan berkembangnya teori mengenai tektonika lempeng. Bahwa di tempat tertentu lempeng itu diperbaharui dengan sumber yang datang dari perut bumi, tetapi di lain tempat lempeng itu dapat menunjam kembali ke bawah, ke dalam perut bumi. Dalam kaitan itulah kontribusi Meinesz menjadi sangat signifikan untuk menunjang konsep tektonika lempeng.



----- Anugerah  Nontji (24/02/2017)



PUSTAKA
Chambon, A. 1939.   100.000 Zeemijl per Onderzeeboot met Professor Vening Meinesz. NV Drukkerij Uirgeverij v.c. C. de Boer Jr. Den Helder.

Katili, J.A. 1989.  Review of the past and present geotectonic concepts of Eastern Indonesia.

Netherlands Journal of Sea Research 29: 103-129.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.



Minggu, 19 Februari 2017

Jerman, tahun 1945.   Perang Dunia II yang dahsyat   baru saja usai di panggung Eropa. Suasana porak poranda di negeri yang baru saja dilanda perang itu masih belum juga pulih sepenuhnya. Seorang anak muda berusia 20 tahun berkeliling di Jerman. Dorongan  kuat  untuk menuntut ilmu membuatnya mendatangi berbagai perguruan tinggi untuk mencoba peluangnya untuk bisa diterima. Akhirnya ia terdampar di University of Marburg.  Ketika ditanya bidang apa yang ingin dipelajarinya, ia pun sempat bingung. Semula bidang   yang   dicita-citakannya   adalah   perkapalan.   Tetapi ternyata   pada saat   itu teknik perkapalan   tidak    lagi    diajarkan   di   situ.    Sebagai   alternatifnya ia  lalu    memutuskan untuk mengambil bidang matematika dan fisika, dan segera mengajukan lamarannya. Ia pun mulai banyak membaca buku tentang kedua bidang itu, dan mempelajari nilai-nilai aplikasinya dalam bidang meteorologi. Dalam penulusurannya inilah   ia baru menyadari adanya bidang ilmu pengetahuan yang namanya oseanografi.   Segera saja bidang yang baru dikenalnya   itu menarik perhatiannya dan langsung jauh cinta. Itulah awal perkenalan pemuda itu pada salah satu bidang ilmu pengetahuan yang kelak akan mengantarkannya menjadi ilmuwan yang sangat tersohor dalam  kancah  oseanografi  dunia.  Pemuda itu  adalah  Klaus  Wyrtki,  yang lahir di Tarnowitz, Jerman, pada tanggal 7 Februari 1925.

Gambar 1. Kiri: Klaus Wyrtki di tahun 1953, kurang lebih setahun sebelum mulai bertugas di Lembaga Penelitian Laut, Jakarta. Kanan: Wyrtki di tahun 1999.

Gambar 2.  Klaus Wyrtki di kapal riset Samudera di tahun 1955. (Wyrtki, 2005)
Dua tahun di University of Marburg membuatnya makin gelisah saja, dan akhirnya ia mendatangi seorang professor geografi dan menanyakan dimana ia bisa belajar oseanografi. Sang professor mengatakan bahwa ada satu lembaga terkenal di Berlin, tetapi sudah hancur dibom dalam perang yang lalu. Kemungkinan orang-orangnya sudah pindah ke Kiel. Pada musim panas 1947, Wyrtki pun datang ke Kiel, ke  Institut für Meereskunde (Institute for Oceanography). Disana ia menemui seorang tokoh oseanografi, Professor George  Wüst, dan mengutarakan  segala  kisahnya  dan  hasratnya  yang  kuat  untuk  belajar  oseanografi.  Begitu Wyrtki selesai bertutur, Prof. Wüst pun menukas dengan gembira: “Baiklah, kalau begitu saya sudah punya murid baru”. Professor itu pun mengatur kepindahan mahasiswa Wyrtki ke Kiel, yang saat itu masih diperkenankan. 

Musim panas tahun berikutnya, 1948, Wyrtki pun sudah berada di Kiel. Dua tahun  kemudian,   20 Mei 1950, ia lulus dari University of   Kiel dalam promosi Doctor of Natural Sciences dengan predikat summa cum laude dengan disertasi mengenai turbiditas (kekeruhan) air di Laut Baltik dan kaitannya dengan faktor-faktor hidrografi. Ketika ditanya pelajaran apa yang terpenting yang diperolehnya dari Professor Wüst, ia mengatakan  bahwa yang paling mendasar adalah general overview, melihat bagaimana keterkaitan-keterkaitan peristiwa terjadi dalam skala besar, bukan dalam detail, tetapi mengintegrasikan segalanya untuk dapat melihat gambaran besarnya.

Setamat dari University of Kiel ia sempat berada di Hamburg selama enam bulan, menimba pengalaman  di  German  Hydrographc  Institute. Tetapi ia kemudian kembali lagi ke Kiel karena mendapat beasiswa post-doctoral dari University of Kiel, yang dijalaninya selama tiga tahun (1951-1954), dengan mempelajari pertukaran massa air antara Laut Baltik dan Laut Utara. 

Ketika   tugasnya   di berakhir,     ia     kemudian University   of   Kiel mencoba     mencari pekerjaan. Ternyata para seniornya tak ada yang dapat membantu mencarikan lowongan pekerjaan. Pada saat yang hampa itu, tiba-tiba seorang kawannya,    Willi    Brogmus,    menceritakannya bahwa ia (Willi Brogmus)  baru  mendapat  surat daerah tropis, ia lebih suka tantangan ke Kutub Utara. Surat itu diberikannya kepada Wyrtki, dan Wyrtki pun segera menyurat ke Indonesia.   Ia sama sekali tak menduga bahwa pihak Indonesia memberikan respon positif yang begitu cepat.   Tak lama kemudian ia pun menuju Indonesia di bulan November 1954. “Tampaknya semua berjalan begitu mudah dan lancar”, ujarnya dalam suatu wawancara. 


Gambar 3.  Karya Wyrtki yang dari Indonesia yang memintanya datang sebagai terkenal: Physical Oeanography of the seorang scientist.  Tetapi Willi tidak berminat ke Southeast Asian Waters (1961) 
Gambar 4. Pola arus di perairan Nusantara di musim barat dan musim timur menurut Wyrtki (1961).
Setibanya di tempat tugasnya yang baru di Lembaga Penyelidikan Laut (LPL) di Pasar Ikan, Jakarta, ia terkejut karena ternyata lembaga ini hampir tak ada apa-apanya. Karena sengketa politik Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda, semua oceanographer Belanda telah diusir dari Indonesia. Kehadiran Wyrtki sebagai seorang dari Jerman, negara yang tidak pernah bersengketa dengan Indonesia, membuatnya disambut dengan baik disini.  Tetapi ia tak menyangka menemukan kenyataan tak ada seorang pun oceanographer   di lembaga ini. Jadilah ia sebagai oceanographer tunggal di lembaga ini, lembaga yang statusnya berada di bawah Kebun Raya Bogor.   Ia lebih terkejut lagi menghadapi kenyataan bahwa ia akhirnya ditugasi pula sekali gus sebagai Direktur lembaga ini yang dijabatnya selama tiga tahun (1954-1957). Dengan demikian ia mulai menjadi direktur lembaga oseanografi dalam usia yang masih sangat muda, belum lagi 30 tahun. Mungkin di dunia, hanya Klaus Wyrtki  yang pernah menjadi direktur pada suatu lembaga oseanografi dalam usia yang semuda itu.

Namun Wyrtki tidak berkecil hati dengan segala keterbatasan itu, bahkan menerimanya sebagai tantangan. Ia masih bersyukur karena lembaga itu masih mempunyai satu kapal riset kecil yang masih baik yakni KM Samudera, dengan peralatan yang sederhana yang hanya bisa mengambil sampel air laut hingga kedalaman beberapa ratus meter saja. Panjang kabel untuk menurunkan peralatan oseanografi dari kapal itu memang sangat terbatas, tidak untuk penelitian laut-dalam.

Gambar 5. Model aliran massa air di perairan Laut Banda menunjukkan pola hubungan Air Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia melalui proses pengenggelaman (sinking) dan penaikan air (upwelling).  (Digambar kembali dari Wyrtki, 1958).
Dalam waktu tak begitu lama Wyrtki pun menyadari bahwa sebetulnya  telah banyak informasi mengenai oseanografi di Nusantara ini tetapi bertebaran dimana-mana, hingga sulit mendapatkan gambaran  umum  yang  utuh.  Mungkin  masih  di  bawah  pengaruh  mantan mentornya yang mengajarkannya untuk melihat sesuatu masalah dalam gambaran besar yang utuh menyeluruh (general overview) dengan  melihat  keterkaitan-keterkaitannya dalam skala besar yang kemudian mendorongnya memutuskan untuk menggarap penulisan buku yang akan merajut,   mengintegrasikan  semua  informasi   yang   available   sampai saat   itu   mengenai oseanografi Nusantara. Ia menulis buku itu antara lain di sela-sela kesibukannya dalam banyak pelayaran panjang yang dilaksanakannya di perairan Nusantara. Buku monografi itu akhirnya terbit  tahun  1961  dengan  judul  “Physical  Oceanography  of  the  Southeast  Asian  Waters”, sebagai bagian dari NAGA Report yang diterbitkan oleh University of California. Adapun yang dimaksud dengan Southeast Asian Waters adalah perairan laut Nusantara dan sekitarnya. 

Segera saja buku itu, yang lebih dikenal sebagai NAGA Report, menjadi hit di dunia dan banyak dijadikan sebagai referensi penting sampai beberapa dekade sesudahnya. Bahkan juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Buku itu mencakup berbagai aspek antara lain konfigurasi dasar laut, sistem angin dan sirkulasi di permukaan, ciri-ciri laut di lapisan permukaan, presipitasi dan evaporasi, massa air di lapisan dalam, dinamika sirkulasi dan pasang surut. Bagi siapapun yang akan mempelajari oseanografi Nusantara, buku ini merupakan pengantar yang penting untuk mendapatkan overview tentang laut Nusanatara, khususnya untuk aspek oseanografi fisika (physical oceanography).

Gambar 6. Kiri: Klaus Wyrtki dalam persiapan penyusunan buku Oceanographic Atlas of the International Indian Ocean Expedition. Kanan: Tampilan kulit depan buku Oceanographic Atlas of the Indian Ocean Expedition (Wyrtki, 1971)
Dalam masa kepemimpinannya di Lembaga Penelitian Laut, Jakarta, ia memprakarsai diterbitkannya jurnal oseanografi yang pertama di Indonesia yakni Marine Research in Indonesia,  dengan edisi perdana tahun 1956, yang mempunyai sirkulasi internasional. Jurnal ini masih berlanjut hingga sekarang meskipun pernah tersendat bahkan  sempat “mati suri” beberapa waktu lalu.

Selama  bertugas  di  Indonesia  ia  juga  menerbitkan  beberapa  hasil  penelitiannya mengenai oseanografi fisika di berbagai media, antara lain mengenai kaitan meteorologi dengan kondisi permukaan  laut.  Salah  satu  yang  mempunyai  dampak  besar  adalah  temuannya mengenai dinamika pertukaran massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia lewat selat- selat di perairan di perairan Nusantara yang merupakan awal dari kajian besar di kemudian hari mengenai Arlindo (Arus Lintas Indoesia, atau ITF = Indonesia Through Flow). Ia menemukan bahwa   di   Laut   Banda  terjadi   silih   berganti   upwelling   (penaikan   air)   dan   sinking (penenggelaman air) yang terkait dengan musim (monsoon) dan dengan aliran massa air dari Pasifik ke Samudra Hindia (Gambar 5).

Klaus Wyrtki bekerja di Indonesia dalam rentang waktu yang relatif singkat, hanya sekitar tiga tahun (1954-1957). Setelah masa kontraknya habis tahun 1957, ia tidak lagi memperpanjangnya. Ia kemudian pindah ke CSIRO Australia dan bekerja disana selama tiga tahun, dan berikutnya di Scripps Institution of Oceanography di Amerika Serikat selama tiga tahun, dan berakhir di University of Hawaii   hingga ia pensiun. Meskipun hanya tiga tahun bertugas di Indonesia tetapi apa yang dihasilkannya banyak mendapat perhatian dunia, dan karena itu boleh dikatakan menjadi modal baginya untuk kemudian terlibat dalam berbagai program internasional.

Salah  satu  program  besar  yang  dibanggakannya  adalah  penyusunan  Oceanographic Atlas  of  the International  Indian  Ocean  Expedition  yang  penerbitannya  disponsori  oleh National Science Foundation, terbit tahun 1971. Atlas itu merupakan atlas pertama di dunia mengenai satu samudra raya yang dibuat berdasarkan data-data yang dihimpun dari program International  Indian  Ocean  Expedition  (IIOE)  yang dilaksanakan  dalam  kurun  1960-1965. IIOE adalah program internasional di bawah kordinasi IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission – UNESCO) yang diikuti oleh 18 negara dengan melibatkan 70 kapal. Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam IIOE dengan mengerahkan kapal riset  Jalanidhi dalam tiga kali pelayaran. Proyek pemetaan Samudra Hindia ini sungguh luar biasa yang mengolah data dari sekitar 12.000 titik stasiun oseanografi. Program ini juga merupakan aplikasi komputer yang pertama untuk mengolah data oseanografi dengan volume sedemikian besarnya. Peta yang dihasilkan memberikan gambaran yang komprehensif tentang samudra raya ini, termasuk sebagian perairan Nusantara, yang menggambarkan distribusi horizontal dan vertikal  berbagai parameter oseanografi secara detail, dan dalam dimensi waktu yang berbeda.

Di samping itu, analisisnya mengenai sirkulasi di Samudra Hindia membawa Wyrtki pada penemuan adanya aliran yang kuat di sepanjang garis katulistiwa, yang kemudian dikenal sebagai Indian Ocean Equatorial Jet (kemudian lebih dikenal sebagai Wyrtki Jet) yang membentang dari Somalia di pantai timur Afrika sampai ke Sumatra.

Selain itu Wyrtki juga pernah terlibat dalam kajian besar di perairan tropis Pasifik (1970-1973) yang mengungkapkan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari aspek dinamika  oseanografi yang  terkait  dengan  perubahan  tinggi  muka  laut  dan  kedalaman termoklin. Kajiannya ini merupakan terobosan penting yang membuka peluang dilakukannya prakiraan datangnya El Nino. 

Gambar 7. Arus ekuatorial di permukaan Samudra Hindia (Wyrtki jet)  pada bulan April-Mei (spring Wyrtki Jet), dan bulan Oktober-November (fall Wyrtki Jet). (Mardiansyah & Iskandar, 2014)

Dalam kariernya sebagai oceanographer, lebih 130 tulisannya yang telah diterbitkan baik dalam jurnal ilmiah maupun dalam bentuk buku. Kepakarannya dalam oseanografi juga telah mengantarkannya menduduki berbagai jabatan penting dalam banyak organisasi internasional yang berkaitan dengan masalah oseanografi. Demikian pula tidak sedikit penghargaan (award) yang pernah diterimanya dari berbagai organisasi internasional, beberapa diantaranya adalah Rosenthiel Award (dari University of Miami), Maurice Ewing Medal  (dari American Geophysical Union), Sverdrup Gold Medal (dari Americal Meteorological Society), dan Prince Albert I Medal (dari IAPSO/ International Association for the Physical Sciences of the Ocean).

Tulisannya yang terakhir terbit tahun 1993, tentang kenaikan muka laut global (global sea level rise) dan kemudian ia mengundurkan diri pada usia hampir 70 tahun. Wyrtki akhirnya menutup mata pada tanggal 5 Februaari 2013 pada usia 88 tahun, tetapi dunia tetap mengenangnya sebagai “the grand oldman of physical oceanography”, yang juga sangat berjasa memperkokoh pengetahuan oseanografi Nusantara.


----- Anugerah  Nontji (19/02/2017)

PUSTAKA

Gordon,   A.   L.   2005.   Oceanography   of   the   Indonesian   Seas   and   their   throughflow. Oceanography 18 (4): 14-27.

Lukas, R., W. Patzert, G. Myers & W. Emery. 1990. Wyrtki’s 40 years of contribution to oceanography. Oceanography, 1990, Apr.: 36-38.

Mardiansyah, W. & I. Iskandar. 2014.   Variasi temporal Arus Wyrtki di Samudera Hindia dan hubungannya dengan fenomena Indian Ocean Dipole.  J. Segara 10 (2): 98-105. 

Nontji,    A.  2005.  Laut  Nusantara.  Cetakan  keempat  (Edisi  Revisi).  Penerbit  Djambatan, Jakarta: 372 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

von Storch, H., J. Sündermann & L. Magaard. 1999. Interview with Klaus Wyrtki, 25 February 1999. GKSS 99/E/74

Wyrtki, K. 1958.  The water exchange between the Pacific and the Indian Ocean in relation to upwelling processes. Proceeding Ninth Pacific Science Congress 16: 61-66.

Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian waters. NAGA Report vol. 2.The University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, Clifornia:195 pp.

Wyrtki, K. 1971. Oceanographic atlas of the International Indian Ocean Expedition. National Science Foundation. Washington DC: 531 pp.

Wyrtki, K. 1973. An equatorial jet in the Indian Ocean. Science 181: 262-264.

Wyrtki, K. 2005. Discovering the Indonesia Through Flow. Oceanography 18 (4): 28-39.

Sabtu, 04 Februari 2017

Sebenarnya hingga akhir abad 19 telah ada puluhan ekspedisi ilmiah kelautan dari Eropa dan Amerika yang pernah menjelajahi peairan Nusantara (van Aken,2005). Sasaran penelitian pada umumnya   meliputi bidang biologi, geologi, oseanografi fisika dan kimia. Namun semua hasil ekspedisi pada waktu itu di bawa ke negeri asal pelaksana ekspedisi untuk dimiliki, diolah dan diterbitkan. Laut Nusantara hanya sekedar sebagai objek penelitian saja. Ini disebabkan karena hingga saat itu memang riset kelautan belum dianggap penting di negeri ini. Riset yang telah berkembang lebih menekankan pada riset yang ada kaitannya dengan masalah pertanian di darat untuk mendukung ekonomi kolonial Hindia-Belanda. Kehadiran lembaga riset kelautan belum dirasakan sebagai kebutuhan.

Salah  satu  lembaga  terpenting  yang  melaksanakan  riset  di  Nusantara,  yang  telah mempunyai sejarah panjang, adalah Kebun Raya di Bogor, yang pada awalnya  dikenal  sebagai ‘s Land Plantentuin te Buitenzorg. Kebun Raya ini didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 18 Mei 1817 atas prakarsa Dr. C. G. C. Reinwardt.  Dalam perjalanan sejarahnya Kebun Raya ini maju sangat pesat ketika dipimpin oleh Dr. Melchior Treub dalam kurun 1880-1905.  Dalam masa kepemimpinannya Kebun Raya berkembang menjadi sebuah lembaga yang mempunyai banyak bagian meliputi bidang botani, zoologi, pertanian dan hortikultura. Pada tahun 1894   ‘s Land Plantentuin mendirikan anak lembaganya yang bernama   Landbouw Zoologische  Laboratorium    (Laboratorium    Zoologi  Pertanian),  yang  kelak  lebih  dikenal sebagai Museum Zoologicum Bogoriense (Museum Zoologi Bogor). Sejak didirikan, museum ini berkembang pesat dengan penelitian-penelitian fauna darat, sedangkan fauna akuatik, khususnya  penelitian fauna laut sama sekali belum terjamah. Pada tanggal 10 Januari 1898 Dr. J. C. Koningsberger diangkat menjadi kepala laboratorium ini.  Pakar ini mempunyai perhatian yang sangat luas, tidak saja pada fauna darat tetapi juga pada fauna laut.

Dalam  tahun  1903  Koningsberger  melakukan  penelitian  mengenai  teripang,  yang hasilnya diterbitkan dalam Meededelingen uit ‘s Land Plantentuin (Laporan Kebun Raya) tahun 1904, dengan judul “Tripang en tripang visccherij in Nederlandsch Indie” (Teripang dan perikanan teripang di Hindia Belanda). Dari pengalamannya itu, ia makin merasa perlu adanya asisten yang dapat menangani fauna laut yang mempunyai nilai penting dalam perikanan. Hal ini juga untuk lebih mengangkat dan menyejajarkan penelitian fauna laut dengan penelitian fauna darat yang sudah berkembang jauh.

Koningsberger berpendapat bahwa penelitian fauna laut akan dapat dilakukan dan bisa berkembang apabila disediakan tempat khusus atau laboratorium tersendiri untuk itu. Ia pun mulai mengambil prakarsa untuk memuwujudkan impiannya itu dengan membuat konsep rencana yang mencakup pengembangannya, sumber pendanaan, lokasi, dan tenaga yang diperlukan. Ia menjajakan gagasannya kemana-mana dan ternyata mendapat tanggapan dan dukungan positif dari berbagai kalangan, tidak saja di Hindia-Belanda tetapi juga di Holland. Dr. Melchior Treub, atasannya, yang menjadi Direktur Kebun Raya Bogor, memberikan dorongan yang sangat membesarkan hati. Upayanya untuk menggalang dana (fund raising) di Holland berhasil pula mengumpulkan dana yang cukup besar dari para dermawan di sana.

Gambar 1. Visscherij Laboratorium te Batavia (Laboratorium Perikanan di Batavia) yang sangat sederhana di bangun di kawasan Pasar Ikan tahun 1905, oleh Dr. Koningsberger (foto dalam inzet). (Sunier, 1923)

Untuk mencari lokasi yang tepat untuk pendirian laboratorium, Koningsberger mengarahkan perhatiannya ke Teluk Jakarta, yang dianggapnya cocok. Setelah bekerja keras akhirnya  pada bulan September tahun 1904, pilihannya jatuh pada sebidang tanah yang terletak persis di sebelah utara Pasar Ikan, di bibir pantai yang langsung berhubungan dengan bagian paling selatan Oude Haven Kanal (Kanal Pelabuhan Lama, sekarang Pelabuhan Sunda Kelapa), yang merupakan muara Sungai Ciliwung. Tanah ini milik Pemerintah dan untuk memperoleh hak otorita atas penggunaan tanah itu tidak ditemui kesulitan. 

Dengan persetujuan Pemerintah Kolonial pembangunan laboratorium di kawasan Pasar Ikan itu pun dimulai tahun 1904, yang ternyata memerlukan waktu hampir setahun untuk dapat selesai. Laboratorium yang dibangun itu merupakan gedung semi-permanen yang kecil dan bersahaja (Gambar 1). Pada pertengahan Desember 1905 pembangunan laboratorium itu selesai,dan disebut sebagai Visscherij Laboratorium te Batvia (Laboratorium Perikanan di Batavia). Momen  itu  dapat dipandang sangat  bersejarah,  karena  merupakan  titik  awal  dimulainya lembaga  kelautan  di Indonesia,  dan  yang  juga  merupakan  cikal  bakal  Pusat  Penelitian Oseanografi LIPI yang sekarang ini.

Gambar 2. Kapal riset Gier , kapal pertama yang dioperasikan oleh Visscherij Station te Batavia tahun 1904 (Koningsbeger, 1942)

Gambar 3. Kapal riset Brak, mulai dioperasikan oleh Visscherij Station te Batavia tahun tahun 1915. (Sunier, 1921)  

Nama  Visscherij  Laboratorium  te  Batavia  tak  lama  kemudian  berubah  menjadi  Visscherij Station  te  Batavia (Stasiun  Perikanan  Batavia),  nama  yang kelak  lebih  banyak dikenal dalam berbagai literatur. Tahun 1907 stasiun ini sudah dilengkapi dengan kapal riset Gier (Gambar 2) yang merupakan pula kapal riset pertama yang berpangkal di kawasan Asia Timur. Dengan adanya kapal riset ini dimulailah pelayaran-pelayaran untuk mengumpulkan data oseanografi dan perikanan di berbagai perairan Nusantara. Sekitar tahun 1915 laboratorium ini mengoperasikan kapal riset yang baru, Brak (Gambar 3),  hingga pelayaran-pelayaran riset kelautan dapat dilakukan dalam cakupan yang lebih luas lagi.

Gambar 4. Gedung laboratorium selesai dibangun tahun 1922.(Sunier 1923)
Pada tahun 1922 telah selesai dibangun laboratorium yang baru, yang lebih permanen dan lebih besar untuk menggantikan laboratorium yang lama (Gambar 4). Kehadiran laboratorium kelautan yang baru ini segera menarik pehatian dunia, karena merupakan Marine Biological Station yang pertama di kawasan tropis, yang dilengkapi dengan fasilitas kerja yang memadai. Fasilitas bagi peneliti tamu dari manca negara pun disediakan.

Di samping gedung laboratorium dibangun pula gedung akuarium air laut yang besar, yang merupakan akuarium publik (public aquarium) yang pertama di Indonesia, bahkan yang pertama  di  kawasan  Asia  Tenggara  (Gambar  5).  Akuarium  besar  ini  dibuka  untuk  umum tanggal 12 Desember 1923, yang segera menyedot perhatian masyarakat. Akuarium ini bekerja dengan sistem aliran tertutup, yakni air laut yang disimpan dalam reservoir penampungan di bawah tanah dialirkan dan disemprotkan ke dalam akuarium kemudian limpasannya dialirkan  lewat saringan pasir dan kemudian dikembalikan lagi ke reservoir. Dalam akuarium besar ini dipelihara  dan  dipamerkan berbagai  jenis  ikan  dengan  bentuk  dan warna  yang  sangat mempesona. Selain itu ada juga penyu. Di bagian belakang akuarium terdapat pula satu ruangan  besar yang berisikan hamparan terumbu karang dan berbagai biota laut, semua  dalam keadaan kering, yang disusun sedemikian rupa hingga tampak seperti terumbu karang aslinya di laut.

Gambar 5. Gedung akuarium air laut yang terbuka untuk publik tahun1923. (Sunier, 1923).
Di  sekeliling  bangunan  laboratorium  dan  akuarium  ada  taman mewakili tumbuhan yang   biasa hidup di pantai, jadi merupakan suatu yang  tanamannya taman botani kecil (hortus botanicus) yang menambah daya tarik kunjungan masyarakat ke sini. Di taman kecil ini, yang kemudian dinamai Taman Sitinjau Laut, ada pula taman hewan mini (mini zoo) yang memamerkan berbagai jenis hewan pantai seperti buaya, biawak, monyet ekor panjang, bangau tongtong, ular. Pada saat hari libur, apalagi pada hari lebaran, pengunjung akuarium ini selalu membludak. Sampai tahun 1960-an, lokasi ini yang dikenal sebagai Akuarium Pasar Ikan menjadi tujuan wisata yang yang tersohor di Jakarta. Lagu anak-anak yang sangat populer saat itu berjudul  Ke Pasar Ikan, menggambarkannya dengan lirik sebagai berikut:
Hari Minggu, Hari Minggu, ke Pasar Ikan
Dengan Ibu, dengan Ayah, beserta Paman
Kulihat ikan, di dalam kolam
Berbisik-bisik, memberi salam.
Sebagai pelengkap dari akuarium di Pasar Ikan ini, maka pada tahun 1929 dibangun pula akuarium di Pulau Onrust di Teluk Jakarta, yang diperuntukkan khusus untuk penelitian (Gambar 6). Ketika itu kondisi air laut di sekitar Pulau Onrust masih sangat baik, belum tercemar, dan terumbu karang hidup dengan sehat di sekitarnya.   Tidak seperti akuarium di Pasar Ikan yang menggunakan sistem aliran tertutup, akuarium di Pulau Onrust menggunakan sistem aliran terbuka. Dengan sistem ini, air laut segar dari sekitar pulau dipompa langsung dari laut  ke  menara,  dan  dari  situ  lalu  dialirkan  ke bak-bak  akuarium  kemudian  limpasannya dialirkan dan dibuang kembali ke laut. Dengan sistem aliran terbuka ini ternyata berbagai biota laut dapat hidup dalam akuarium dengan kondisi sangat baik, hingga akuarium ini sangat cocok untuk penelitian biologi dan fisiologi berbagai jenis biota laut. Berbagai riset tentang biologi biota laut kemudian dilaksanakan dalam akuarium ini. Verwey (1930) adalah seorang pakar yang menggunakan akuarium di Pulau Onrust untuk penelitian biologi anemone laut dan simbiosisnya dengan ikan giru (damsel fish) yang merupakan rintisan dalam penelitian serupa di berbagai penjuru dunia lainnya.

Gambar 6. Akuarium di Pulau Onrust (Teluk Jakarta) dengan menggunakan sistem aliran terbuka, merupakan media yang sangat baik untuk kajian biologi dan fisiologi biota laut (Verwey, 1930)

Pada pertengahan tahun 1970-an Pemerintah DKI menutup kawasan dan akuarium di Pasar Ikan karena direncanakan untuk dikembangkan sebagai perluasan kawasan Museum Bahari. Laboratorium kelautan ini lalu dipindahkan ke kawasan Ancol yang kelak menjadi Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun sayangnya, pembangunan selanjutnya  di Pasar Ikan  itu    terkatung-katung    tidak  jelas,  hingga seluruh kawasan  bekas  Akuarim  itu  kemudian diduduki  oleh  penduduk  dan  berkembang  menjadi kampung dengan penghunian liar yang padat dan semrawut yang dikenal sebagai Kampung Akuarium. Tahun 2016 Pemerinah DKI kemudian menggusur seluruh kawasan Pasar Ikan dan Kampung  Akuarium  dan daerah  sekitarnya  yang  dulu pernah  menoreh sejarah  itu,  untuk dibangun dan ditata kembali menjadi kawasan yang baru.

Gambar 6. Kampung Akuarium dan Pasar Ikan digusur tahun 2016, hingga tak ada lagi jejak peninggalan sejarah awal kelembagaan kelautan kita. http://jakarta.108jakarta.com/2016

----- Anugerah  Nontji (04/02/2017)



PUSTAKA

Koningsberger, J. C. 1942. Herinneringen uit mijn Directeurjaren ‘s Land Plantentuin (1909-
1918). In:   M. A. Donk. “Hortus Botanicus Bogoriensis 1817 – 1942”. Leiden, E. J.Brill 1942: 19-46.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Pariwono, J. I., A. G. Ilahude & M. Hutomo. 2005. Progress in oceanography of the Indonesian seas.  A historical perspective. Oceanography 2005, 18 (4): 42-49. 

Soedibjo, B. S.,   M. Sitompul, A. Warsono & R. N. Maha. 2010. Satu abad lebih peranan strategis Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 111 hlm. Soegiarto, K. 1987. Menelusuri tonggak-tonggak sejarah Puslitbang Oseanologi LIPI. Oseana12 (3): 1-52. 

Soemodihardjo, S., K. A. Soegiarto, M. H. Moosa & Mulyanto (eds). 2005. Seratus tahun lembaga penelitian bidang ilmu kelautan LIPI 1905-2005.  LIPI, Jakarta: 196 hlm.

Sunier, A. L. J. 1921. Java Sea plankton available for investigation to specialists. Treubia II 154-155.

Sunier, A. L. J. 1923.   The laboratory for marine investigations at Batavia. A new tropical marine biological station. Treubia 3: 127-148.

van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 30-41.

Verwey, J. 1930. Coral reef studies. I. The symbiosis between damsel fishes and sea anemones in Batavia Bay. Treubia 12: 305-366.

Ketika Perang Dunia II meluas ke Pasifik tahun 1941,  militer Jepang dalam waktu singkat menggilas beberapa negara Asia Tenggara. Pada pertengahan bulan Februari 1942, pasukan Jepang mendarat di Jawa. Belanda yang telah menjajah Nusantara selama beratus tahun, pada tanggal 9   Maret 1942 akhirnya menyatakan takluk menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Pernyataan menyerah itu  ditandatangani di Pangkalan Udara Kalijati, Subang (Jawa Barat) oleh Jenderal Ter Poorten dari pihak Belanda, di bawah kesaksian Jenderal  Imamura dari pihak Jepang.  Gubernur Jenderal Belanda, van Starkenborgh, ditawan oleh tentara   Jepang, dan dengan demikian tamatlah sudah riwayat kekuasaan Belanda di Nusantara.

Orang-orang Belanda yang dulu berkuasa di negeri ini, ada yang bisa meloloskan diri ke Australia, tetapi kebanyakan dapat ditawan oleh Jepang, dijebloskan dalam kamp-kamp interniran (tempat penahanan), melaksanakan kerja paksa dan siksaan yang menghinakan. Nasib Laboratorium voor het Onderzoek der Zee   (LOZ) atau Laboratorium Penelitian Laut, yang dulu dirintis oleh Belanda sejak tahun 1905 di Pasar Ikan, Jakarta, pun ikut terpuruk bagai menuju kehancurannya.

Karena lokasi LOZ yang langsung berdampingan dengan Pelabuhan Pasar Ikan (Sunda Kelapa) yang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam situasi perang, maka LOZ pun masuk dalam kawasan terlarang, sebagai zona militer. Segala kegiatan penelitian pun lumpuh, tak ada lagi  yang peduli dengan  fungsi  LOZ.  Kondisi  LOZ menjadi sangat menyedihkan. Laboratorium, perpustakaan, dan akuarium air laut tak ada lagi yang mengurus. Sebagian besar koleksi biota laut, arsip, buku-buku dan alat-alat optik hilang lenyap.

Agustus 1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dihantam bom atom oleh pasukan sekutu, Jepang pun menyerah yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Tetapi situasi   damai tak kunjung tiba.  Belanda berusaha untuk  kembali menguasai negeri ini, tetapi mendapat perlawanan sengit dari rakyat Indonesia yang telah bangun    untuk    mempertahankan kemerdekaannya.    Perjuangan    revolusi    fisik    untuk mempertahankan kemerdekaan dan eksistensi negara Republik Indonesia terus bergelora. Tetapi nasib laboratorium penelitian laut di Pasar Ikan itu masih terus terpuruk dan  terabaikan.

Belanda baru mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 setelah penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Momen itu mengantarkan Indonesia untuk mulai   berbenah di segala bidang. Laboratorium voor het Onderzoek der Zee (LOZ) di Pasar Ikan, Jakarta, yang telah terbengkalai semasa perang, mulai akan dihidupkan kembali, dan namanya pun resmi menjadi Lembaga Penyelidikan Laut (LPL), bernaung di bawah Kebun Raya Bogor, Kementerian Pertanian. Tetapi ironisnya, tak seorang pun bangsa Indonesia yang pernah terlatih dan terdidik dalam bidang oseasongrafi.  Belanda tak pernah menyiapkan generasi penerus bagi orang Indonesia untuk bidang ini.  Dr. Hardenberg, seorang Belanda yang pernah menjadi direktur LOZ di zaman sebelum Perang Dunia II, kini kembali lagi dan diangkat menjadi direktur di Laboratorium Penyelidikan Laut di Pasar Ikan, Jakarta. Tetapi tentu saja ia kini berada dalam posisi yang sangat berbeda, suasana Indonesia yang telah merdeka. Ia pun kini bekerja sebagai tenaga profesional untuk Republik Indonesia, dibantu seorang oseanografer muda, P.C. Veen.

Masalah paling mendasar adalah bagaimana membangun LPL dalam keterbatasan infrastruktur dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas kala itu. Ternyata pertanyaan yang muskil ini dapat dijawab dengan solusi yang tepat lewat strategi  memfokuskan segala upaya hanya pada satu aspek kajian saja yakni salinitas (kadar garam). Hal ini sejalan dan mengacu pula pada rekomendasi dari IPFC (Indo-Pacific Fisheries Council, Food and Agriculture Organization) saat itu, bahwa kajian-kajian oseanografi masih sangat dibutuhkan untuk menunjang pengembangan perikanan di kawasan Indo-Pasifik.

Pada saat program itu mulai diluncurkan tahun 1949, Indonesia belum mempunyai kapal riset. Namun keadaan itu dapat diatasi dengan membina kemitraan berasas sukarela dengan kapal-kapal niaga yang secara reguler melayari seluruh pelosok perairan Nusantara. KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), yang saat itu merupakan perusahaan pelayaran terbesar di Indonesia, bersedia mengerahkan kapal-kapalnya membantu mengambilkan sampel-sample air laut permukaan di sepanjang jalur-jalur yang rutin dilayari kapal-kapalnya di seluruh Nusantara. Sampel-sampel air laut itu akan diteruskan ke LPL di Pasar Ikan, Jakarta, untuk ditentukan   salinitasnya.   Perusahan pelayaran   lainnya   juga   ikut   serta   seperti      KJCPL (Koninklijke Java China Paketvaart Lijnen) yang secara reguler melayari jalur Hongkong- Singapur-Jakarta-Makassar. Ada juga perusahan pelayaran Belanda, SMN (Stoomvaart Maatschapij Nederland),   dan perusahan pelayaran Denmark, Maersk Line yang terkenal mengoperasikan kapal-kapal kargo. Jawatan Pelayaran RI, dibawah Kementerian Perhubungan, juga mengikut-sertakan kapal-kapalnya dalam program ini. Selain itu para penjaga mercu suar di pulau-pulau terpencil juga dilibatkan untuk secara rutin mengumpulkan sampel air secara berkala,  yang  kemudian  akan  dijemput  oleh  kapal-kapal  perambuan yang secara  rutin menyambangi mercu suar itu untuk pasokan kebutuhan hidup dan pergantian petugas jaga. 

Dengan demikian terbentuklah jejaring (networking) yang cukup luas untuk mendapatkan data salinitas di Nusantara, baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Program ini berjalan dari tahun 1949 hingga 1954.

Gambar 1. Dalam kurun tahun 1949-1954 berbagai perusahan pelayaran ikut serta mengerahkan kapal-kapalnya dalam program pengambilan sampel salinitas di perairan Nusantara. Kapal-kapal negara dan mercu-mercu suar di pulau-pulau  terpencil juga dilibatkan. 

Gambar 2. Sebaran rata-rata salinitas di permukaan perairan Nusantara dan sekitarnya pada bulan Februari dan Agustus. Warna biru = air samudra; hijau = air campuran; kuning = air pesisir; merah = air “sungai” (Wyrtki, 1956). 
Lembaga Penelitian Laut di Pasar Ikan itu menjadi sangat sibuk menerima ribuan botol sampel  air laut  setiap  bulannya  untuk  ditetapkan  salinitasnya.  Dalam  kurun  1950-1954 diperoleh  total sekitar  147.000  sampel  salinitas,  yang menjadi  dasar penyusunan  peta-peta sebaran dan karakteristiknya.  Sampel air laut yang tiba di LPL, salinitasnya ditentukan dengan titrasi kimia (metode Knudsen). Untuk itu sejumlah teknisi pribumi dilatih khusus untuk melaksanakan tugas besar tersebut. Mengantisipasi jumlah sampel yang amat besar ini, maka Arnold   (1951) kemudian mengintroduksi metode mikro dalam titrasi kimia untuk penetapan salinitas, yang memerlukan volume sampel air laut yang cukup 1 ml saja, dengan akurasi 0,1 ‰ (per mil, atau g/kg).   Metode ini dipandang sangat cocok untuk menangani sampel yang berjumlah sangat besar. Akurasi 0,1 ‰ ini dipandang sudah memadai untuk keperluan ini, mengingat salinitas di perairan Nusantara mempunyai variasi musiman yang besar. Pada saat itu belum zamannya komputer, data-base salintasnya dibangun berdasarkan sistem kartu. Data- base ini kemudian banyak dimanfaatkan untuk berbagai kajian oseanografi Nusantara.

Dari data yang dapat dihimpun, dibuatlah peta-peta sebaran salinitas, bulan demi bulan, yang dapat menggambarkan ciri-ciri persebaran  salinitas di perairan Nusantara dan sekitarnya, yang ternyata sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim (monsoon), limpahan air dari sungai- sungai,   dan perubahan karena presipitasi (hujan) dan evaporasi (penguapan). Musim barat (Desember-Februari) merupakan musim hujan di kawasan Indonesia bagian barat, yang menyebabkan banyak sungai-sungai mengalirkan airnya ke laut, dan menurunkan salinitas di kawasan pantai.   Sebaliknya pada musim timur (Juni-Agustus) yang kering, air samudra dari Pasifik lebih banyak mewarnai ciri-ciri persebaran salintas di peraairan Nusantara. Gambar 2 menunjukkan rata-rata persebaran salinitas perairan Nusantara dan sekitarnya pada bulan Februari yang basah, dan bulan Agustus yang kering sebagaimana yang disarikan oleh Wyrtki (1956).  Wyrkti menggolongkan salinitas di perairan Nusantara dalam empat golongan:
- air samudra (oceanic water), dengan salinitas lebih dari 34 ‰;
- air campuran (mixed water), dengan salinitas 32-34 ‰, yang merupakan campuran air samudra dan - air pesisir, daerah liputannya sangat luas;
- air pesisir (coastal water), dengan salinitas 30-32 ‰;
- air “sungai” ( “river” water), di bawah 30 ‰, yang terdapat di depan muara-muara sungai besar.
Kajian mengenai salinitas ini bukan saja penting dilihat dari aspek oseanografinya tetapi juga sangat bermanfaat bagi dunia perikanan.  Beberapa jenis ikan di Nusantara ini diketahui beruaya (migrasi) mengikuti pola perubahan persebaran salinitas.   Ikan layang (Decapterus russelli)  di  Laut  Jawa misalnya,  beruaya  mengikuti  pola  sebaran  selang  salinitas  yang disukainya (Hardenberg, 1937; Burhanuddin et al. 1983).


PUSTAKA

Arnold, G. H. 1951. Simple method for determining the salinity in the large numbers of 1 ml seawater samples based on the principles of the Knudsen method. Journal of Scientific Research Indonesia, 2: 30-37.

Burhanuddin, A. Djamali, S. Martowewojo & R. Moeljanto. 1983. Evaluasi tentang potensi dan usaha pengelolaan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp.). Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta.

Hardenberg, J. D. F. 1937. Preliminaary report on a migration of fish in the Java Sea. Treubia,16: 295-300.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta, Cetakan keempat: 356 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian  Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Veen, P. C. 1951. Surface salinities in the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Pub.Org. Sci. Res. Indonesia. Pub. 33: 20 pp.

Veen, P. C. 1953. Preliminary charts of the mean salinity of the Indonesian Archipelgo and adjacent waters. Bull. Org. Sci. Res. Indonesia. Pub. 17. 47 pp.

Wyrtki,  K.  1956.  Monthly  charts  of  surface  salinity  in  Indonesia  and  adjacent  waters.  J.
Conseil, 21 (3): 268-279.

Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA Report, volume
2.  The  University  of  California,  Scripps  Institutions  of  Oceanography,  La  Jolla, California.

Sample Text

Post Top Ad

Author Details

Video of the Day

Our Team

Post Top Ad

Know us

Contact us

Nama

Email *

Pesan *

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget