Minggu, 29 Januari 2017

Pieter Bleeker   adalah seorang ilmuwan yang mempunyai nama besar dalam bidang iktiologi (ilmu tentang ikan), tidak saja bagi Nusantara tetapi juga bagi dunia. Ia menempuh perjalanan hidup dari awal yang sangat sederhana dan penuh kesulitan hingga akhirnya mencapai ketenaran yang legendaris.

Pieter Bleeker dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1819 di Zaanstad, sebuah kota kecil di sebelah utara Amsterdam,   dan meninggal pada tanggal 12 November 1878 di Den Haag, Belanda,  pada  usia  59  tahun.    Keluarganya  berasal  dari  kelas  menengah,  tidak  mampu membiayai pendidikannya setelah usianya 12 tahun. Tetapi berkat hubungan pertemanan yang baik antara keluarganya dengan seorang ahli farmasi, ia mendapat bantuan untuk dapat meneruskan pendidikannya hingga   bisa mendapat ijazah sebagai apoteker (pharmacist) dan pada usia 22 tahun sebagai dokter bedah sipil, yang kemudian menjadi dokter wilayah (country doctor).

Dalam pendidikan berikutnya ia ternyata sangat berminat dalam kajian fisiologi dan zoologi. Ia banyak membaca topik dalam bidang-bidang ini di perpustakaan umum di Haarlem. Ia berpikir bahwa tampangnya yang masih sangat belia rasanya tak begitu cocok untuk menjadi dokter praktek. Karena minatnya lebih besar pada sejarah alam (natural history) dari pada kedokteran,  maka  ia  pun  melamar  pekerjaan  di  Rijksmuseum  van  Natuurlijke  Historie  di Leiden, tetapi lamarannya ditolak. Ia kemudian memutuskan untuk studi kedokteran di Paris sepanjang ia masih bisa membiayai dirinya sendiri. Enam bulan kemudian ia pulang kampung, dan mengulangi lagi melamar pekerjaan di Rijksmuseum di Leiden, tetapi lagi-lagi ia gagal. Ia akhirnya memutuskan untuk menjadi perwira kesehatan pada Tentara Hindia Belanda yang beroperasi di Nusantara.

Tahun 1842, ia tiba di Batavia (Jakarta) dan menduduki posisi sebagai dokter bedah militer kelas tiga. Bleeker digambarkan sebagai seorang yang penuh energi, mempunyai kecerdasan yang cemerlang, dan sangat bersemangat untuk mengejar ilmu pengetahuan dan ngotot untuk mencapai tujuannya. Semua persyaratan itu cocok untuk menunjang keberhasilannya dalam studi di bidang lingkungan alam yang tidak banyak dikenal orang saat itu. Sementara itu ia pun sudah  berada di Nusantara yang merupakan pusat keanekaragaman hayati  dunia.  Kegiatan  studi  atas  minat  khususnya  itu    hanya bisa  dilakukannya  di  luar waktunya sebagai dokter bedah militer.

Gambar 1. Dua wajah Pieter Bleeker. Kiri: sebagai perwira muda dan sebagai dokter bedah militer Hindia Belanda di Batavia (Jakarta). Kanan: sebagai iktiologist (ahli ikan) yang tersohor.

Ketika ia mulai mengidentifikasi jenis-jenis ikan di Batavia, ia segera mendapatkan banyak jenis (species) ikan yang belum dikenal dalam ilmu pengetahuan. Ia merasakan bahwa disinilah terbuka peluang dan bidang yang sangat luas yang dapat ditekuninya dan yang bisa mendorongnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi mengoleksi ikan dapat dilakukan tanpa menyita waktu yang banyak (bisa dikoleksi dari pasar ikan), biayanya murah, dan mudah pula diawetkan. Hal-hal ini menyebabkan Bleeker tak tertahan lagi untuk secara serius menggeluti bidang iktiologi (ilmu mengenai ikan).

Bleeker menjalani sebagian besar kariernya di Batavia (Jakarta), ibu-kota Hindia Belanda, yang dihuninya selama 18 tahun (1842 – 1860). Di Batavia ketika itu telah tumbuh perhimpunan (Society) yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, yang bagi Bleeker sangat menguntungkan dan mendukungnya. Ia mengambil inisiatif menerbitkan jurnal pertama dalam bidang ilmu pengetahuan alam di Hindia Belanda bernama Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie.

Gambar 2.   Petikan ilustrasi dari buku  Atlas Ichthyologique, karya Pieter Bleeker. 
Namanya yang makin tenar dalam ilmu pengetahuan, posisinya yang semakin penting dalam kedokteran  militer,  dan  juga  sebagai  pengelola  Bataafsch  Genootschap  (Batavian Society) membuat hubungannya makin dekat dengan para elit kekuasaan dan poltik di Hindia Belanda. Tetapi kepribadiannya yang kuat justru menimbulkan juga konflik dengan para elit politik karena kritik-kritiknya yang tajam terhadap Pemerintahan Hindia Belanda. Ia akhirnya “disingkirkan” dari ibukota Batavia, ditugaskan di daerah-daerah pinggiran di Jawa, dari tahun 1847 sampai 1849.


Gambar 3. Kerondong raksasa (Gymnothorax  javanicus), spesies kerondong (moray) terbesar ini pertama kali “ditemukan”, dideskripsikan dan diberi nama ilmiah oleh Bleeker pada tahun 1859. Predator ini hidup di lubang-lubang besar dalam terumbu karang daerah tropis. Panjang maksimumnya tiga meter dan berpotensi menyerang penyelam jika merasa terganggu. (dody94.wordpress.com/2010) 
Selama tahun-tahun itu, Bleeker  menjadi sangat sibuk dengan kegiatan kedokterannya, hingga waktunya hanya tersisa sedikit untuk menangani iktiologi kecintaannya. Tetapi ketika ia balik ke Batavia, ia menghidupkan kembali komunitas ilmiah disini yang sempat terbengkalai. 

Lewat jejaring dengan handai taulannya dan   para pejabat di berbagai penjuru Nusantara ia meminta bantuan untuk mengoleksi ikan-ikan di daerah masing-masing dan mengirimkannya ke Batavia. Dari para nelayan pun ia mendapat banyak sumbangan sampel ikan. 

Selama masa tugasnya, Bleeker tak pernah meninggalkan Pulau Jawa, kecuali pada tahun 1855, ketika ia harus mendampingi Gubernur Jenderal Duijmaer van Twist melakukan perjalanan dinas ke Sulawesi dan Maluku. Selama perjalanannya itu ia tak lupa mengoleksi banyak sampel ikan dari daerah-daerah yang dikunjunginya.

Tahun  1860  ia  mengambil  cuti  panjang  dan  kembali  ke  negeri  Belanda.  Tujuan utamanya mengambil cuti panjang ini adalah untuk menyiapkan penerbitan bukunya yang kelak amat tersohor, Atlas Ichthyologique des Indes Orientales Néerlandaises, sering disingkat Atlas Ichthyologique, yang merupakan suatu rangkuman komprehensif akan studinya yang dilakukan selama bermukim di Hindia Belanda (Nusantara).

Gambar 4. Kurang lebih satu dari setiap enam jenis ikan karang di Indonesia, pertama kali dideskripsikan dan diberi nama oleh Bleeker. (Allen & Adrim, 2003).

Fasilitas percetakan di Batavia kala itu masih terbatas dan tidak memadai untuk menghasilkan kualitas seperti yang diharapkan oleh Bleeker. Ia sebenarnya telah mulai menyiapkan proyek pribadinya ini sejak tahun 1845, tiga tahun setelah ia tiba di Batavia.

Ketika cuti panjangnya berakhir, Bleeker bukannya kembali ke Batavia, tetapi malah mengajukan permohonan pensiun. Maksudnya agar ia dapat berkonsentrasi penuh dalam penyelesaian buku Atlas Ichthyologique-nya itu. Di samping itu ia juga akan memanfaatkan waktunya  untuk  mempelajari koleksi-koleksi  ikan  yang  disimpan  di  banyak  museum  di berbagai negeri. Ia juga berkorespondesi dengan semua tokoh iktiologi dunia pada zaman itu.

Materi yang akan dibukukannya amat banyak, disertai lukisan atau gambar yang sangat indah. Naskah Atlas Ichthyologique disiapkan dengan sangat teliti dengan bantuan artis Ludwig Speigler dan Chris Engel, hingga dapat menampilkan gambar-gambar ikan yang tidak saja cantik tetapi juga dengan detail yang sangat cermat, padahal para artis itu belum pernah melihat ikan-ikan itu dalam keadaan hidup.

Selama  hidupnya,  Bleeker  juga  menjual  beberapa  koleksinya  yang  unik  kepada beberapa museum antara lain ke British Museum.  Tetapi ia menyimpan sendiri koleksinya yang amat banyak itu yang berjumlah sekitar 18.000 spesimen. Sebagian besar koleksinya itu kemudian disimpan di Rijksmuseum van Natuurlijke Historie di Leiden, sejak wafatnya di tahun 1878.

Pada saat ia wafat, telah terbit delapan volume dan separuh dari volume ke sembilan dari Atlas Ichthyologique yang direncanakan akan terdiri dari 14 volume. Sebagian dari naskah- naskahnya yang terakhir kemudian hilang, tetapi banyak bagian lainnya bisa diselamatkan, dan baru pada tahun 1983 seluruh sisa gambar-gambarnya dapat diselamatkan dan diterbitkan oleh Smithsonian Institution. Karya agungnya ini diterbitkan antara tahun 1862 hingga kematiannya tahun  1878,  dihiasi  dengan  lebih  1.500  ilustrasi  mengenai  ikan-ikan  di  Nusantara  dan sekitarnya.

Selain itu Bleeker juga menulis amat banyak makalah ilmiah, lebih dari 500 jumlahnya, yang sebagian besar mengenai ikan-ikan Nusantara. Ia telah mendekripsikan 1.925 jenis (species) baru, diantaranya 743 masih valid dan 520 marga (genus) baru, diantaranya 298 masih valid (Carpenter, 2007). Selain itu Bleeker juga menulis amat banyak makalah dalam berbagai bahasa  seperti  Perancis,  Belanda,  Latin  dan  juga  Inggeris.  Sebagian  besar  makalahnya mengenai ikan-ikan Nusantara. Meskipun minat utamanya adalah iktiologi, ia juga menulis tentang berbagai hal lainnya seperti invertebrata, botani, geologi, antropologi, sejarah dan lainnya.

Peneliti iktiologi generasi sekarang, Allen dan Adrim (2003), menyebutkan bahwa Bleeker sangat pantas diberi julukan sebagai grand-master atau “Bapak” dalam iktiologi Nusantara. Kurang lebih satu dari setiap enam jenis   ikan karang di Nusantara telah dideskripsikan pertama kali oleh Bleeker. John Randall, seorang tokoh iktiologi lainnya yang pernah  meraih  “Bleeker  Award”  tahun  2005 dari  Indo-Pacific  Fish  Conference  bahkan menyebut Bleeker sebagai “the greatest ichthyologist of all time”, tokoh iktiologi paling akbar sepanjang masa. 


PUSTAKA

Allen, G. R. & M. Adrim. 2003. Coral fishes of Indonesia. Zoological Studies 42 (1): 1-72. Cakrawala. 2010. Pieter Bleeker: Bapak Ikan Nusantara. https://dody94.wordpress.com/2010

Carpenter,  K.  E. 2007. A short biography of Pieter Bleeker. The Raffless Bulletin of Zoology
2007. Supplement No. 14: 5-6. 31 Januari 2007. National University of Singapore.

Herre, A. W. C. T. 1945. Research on fishes and fisheries in the Indonesian waters. In Honig, P.
& F. Anderson (eds.). Science and Scientists in Netherlands Indies.  The Boards for the
Netherlands Indies, Suriname, and Curacao, New York: 167-175.

Kottelat, M. 2011.   Pieter Bleeker   in the Netherland East Indies (10 March 1842 – ca. 21
September 1860): new biographical data and chronology of  his zoological publications.

Ichthyol. Explor. Freshwaters, Vol. 22: 22-94.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Minggu, 22 Januari 2017

Orang-orang Belanda yang mulai berdatangan ke Nusantara pada awal abad 17, umumnya adalah pelaut-pedagang. Perhatian mereka terhadap laut lebih diutamakan untuk mencari jalur-jalur baru dan untuk menjamin keselamatan pelayaran untuk kepentingan perdagangan mereka. Belum ada perhatian terhadap sumberdaya yang terkandung dalam laut itu sendiri. Lama kelamaan, mulai timbul minat pada beberapa kalangan untuk mengoleksi biota laut karena ternyata biota laut yang ada di Nusantara sangat beraneka ragam dan indah, jauh berbeda dari apa yang ada di negeri mereka di Eropa. Kegiatan- kegiatan semacam ini dilakukan oleh para pehobi secara amatiran. Perhatian akan aspek ilmiahnya baru dimulai oleh Rumphius di Ambon, sekitar petengahan abad 17.
Gambar 1. Kiri: Georgius Everhardus Rumphius. Kanan: Salah satu mahakaryaRumphius, D’Amboinsche Rariteitkamer (1750). 
Nama aslinya adalah Georg Eberhard Rumpf, tetapi kelak ia lebih dikenal dengan nama versi Latinnya,   Georgius Everhardus Rumphius, atau disingkat Rumphius. Ia lahir di Wölfersheim, tak jauh dari Frankfurt (Jerman), pada tahun 1627 dari ayah Jerman dan ibu Belanda. Ayahnya bekerja sebagai seorang insinyur, dan karenanya Rumphius muda mendapatkan  pendidikan  yang  cukup  baik.  Pada  usia  18  tahun  ia  direkrut  oleh  Republik Venesia. Setelah itu ia ikut kapal di Holland, tetapi ternyata   ia dan kawan-kawan sekapal ditipu.  Mereka  ternyata  dikontrakkan  ke  West  Indische-Compagnie  (WIC)  Belanda,  yang sedang menuju ke koloni Belanda di Pernambuco, di bagian timur-laut Brazil. Entah apa yang terjadi,  ia  tak  pernah  sampai  ke  sana,  dan  kemudian  ia  kembali  ke  kampungnya  setelah beberapa saat berdiam di Portugal.

Pada tahun 1652 ia masuk dinas militer Belanda dalam Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC/ Perserikatan Dagang Hindia Timur), dan tahun itu juga ia diberangkatkan ke ibu kota kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Dari sini ia kemudian ditugaskan ke Ambon,  dan  ternyata  ia tak  pernah  kembali  lagi  hingga  akhir  hayatnya.  Alam  tropika  di Maluku, yang begitu kaya dan subur, ternyata banyak menyedot perhatian prajurit belia itu. Ia menikahi seorang gadis Ambon, Susanna, dan  segera mempelajari vegetasi dan kehidupan hewan di sekitarnya yang mempunyai keanekaragaman hayati yang begitu kaya. VOC tampaknya melihat kemampuan istimewanya disini, hingga akhirnya ia segera dibebaskan dari dinas  militer,  dan  diberi  tugas-tugas  sipil  dengan jabatan  sebagai  Juru  Beli  (Koopman). Meskipun  tugas-tugas  resminya  cukup  banyak,  ia  tetap melanjutkan  pengkajian-pengkajian alam, dengan minat  utama pada botani dan zoologi.

Selama kruang lebih  50  tahun  Rumphius  tinggal  di  Ambon,  ia telah  menghasilkan beberapa karya  yang mengagumkan.  Karya monumentalnya  adalah  Hebarium Amboinense, yang berupa perian atau deskripsi mengenai tumbuhan, lingkungannya dan juga kegunaannya untuk obat-obatan, baik itu   tumbuhan yang hidup di darat maupun yang di laut. Salah satu lukisan tertua mengenai alga laut dari perairan Nusantara tercantum dalam buku itu. Mahakaryanya yang lain yang juga sangat tenar adalah D’Amboinsche Rariteikamer,   yang menguraikan tentang fauna laut Maluku, batuan fossil dan juga objek-objek pra-sejarah.

Kedua mahakaryanya itu dilengkapi dengan ilustrasi yang indah disertai detail yang sangat akurat, hingga sampai kini pun mahakaryanya itu banyak menjadi sumber rujukan. Naskahnya yang ketiga adalah  Amboinsche Dierboek yang mengenai kehidupan satwa, tetapi sayang naskah itu habis dilalap api ketika terjadi kebakaran besar yang melanda Ambon tanggal 11 Januaari 1670. Dengan peristiwa kebakaran itu boleh dikatakan seluruh karyanya sebelum tahun 1670 ludes. 

Rumphius sendiri tak pernah melihat hasil akhir karya-karya besarnya itu. Pada usia setengah baya ia menderia penyakit mata glaucoma, dan akhirnya menjadi buta total tahun 1674. Musibah ini disusul kemudian dengan meninggalnya istri dan seorang putrinya yang direnggut bencana gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang melanda Ambon di tahun 1674. Untuk beberapa waktu semangat hidupnya mengendor. Namun berangsur-angsur ia mulai pulih, gairah kerjanya   kembali menggelora dengan daya tahan yang luar biasa untuk meneruskan karya besarnya.

Gambar 2. Petikan ilustrasi dari karya Rumphius. Kiri: Beberapa jenis siput dari bukuD’Amboinsche Rariteitkamer. Kanan: Rumput laut (alga) dari buku Herbarium Amboinense.

Kebutaannya tidak menghalanginya untuk meneruskan kerjanya. Ia dibantu dengan mata dan tangan orang lain yang dengan setia mendampinginya menyelesaikan karya-karya besarnya. Seorang anak laki-lakinya dan beberapa tenaga lain direkrut oleh VOC untuk membantunya. Oleh sebab itu ia sering dijuluki sebagai “si buta yang bisa melihat dari Ambon” (The blind seer of Ambon). Kurang lebih 30 tahun dari bagian terakhir masa hidupnya dijalaninya dalam “gelap gulita” sampai akhir hayatnya di tahun 1702. 

Karya-karya agungnya baru diterbitkan setelah ia wafat. Karyanya D’Amboinsche Rariteitkamer diterbitkan pertama kali tahun 1705 (edisi ke-2 terbit tahun 1740 dan edisi ke-3 tahun 1741), sedangkan karyanya yang paling agung  Herbarium Amboinense, baru diterbitkan hampir 40 tahun kemudian setelah kematiannya, antara tahun 1741-1750.   Herbarium Amboinense terbit dalam enam volume tebal, dengan total 1.660 halaman, hampir 700 gambar dan perian (deskripsi) tentang sekitar 1.200 jenis tumbuhan.

Riwayat perjalanan naskah   Herbarium Amboinense ini juga sangat dramatis. Mula- mula naskah itu dikirim dari Ambon ke Batavia (Jakarta) tahun 1690 untuk selanjutnya diteruskan ke negeri Belanda untuk diterbitkan disana. Mengingat perjalanan sangat jauh yang harus ditempuh yang tentu penuh risiko, maka Gubernur Jenderal Camphuys di Batavia segera memerintahkan untuk membuat dulu duplikatnya atau salinannya untuk ditinggalkan di Batavia. Benar saja, bahwa naskah aslinya yang dibawa oleh kapal Waterland itu tak pernah sampai ke Belanda. Di tengah jalan kapal itu dihadang dalam satu pertempuran laut dengan Perancis tanggal 12 September 1692, hingga kapal itu tenggelam  beserta seluruh   isinya. Naskah asli pun hilang. Demikianlah, upaya dimulai kembali dari awal berdasarkan duplikat naskah yang masih ada di Batavia. Tanggal 8 Februari 1696 naskah duplikat dikirim lagi dengan kapal Sir Janslandt, dan dapat tiba dengan selamat di Belanda.

Tetapi setelah naskah ini tiba di Belanda, para penentu kebijakan VOC disana (Heeren Zeventien/ Dewan Tujuhbelas) tidak serta merta menyetujui untuk menerbitkan naskah itu. Banyak pertimbangannya, antara lain karena naskah itu beisikan hal-hal yang dinilai sensitif yang dapat mempengaruhi usaha perdagangan mereka. Bahkan informasi-informasi yang dinilai semestinya dirahasiakan dari pesaing-pesaing dagang mereka dari bangsa lain. Hampir 40 tahun setelah kematian Rumphius barulah karya-karya agungnya itu disetujui untuk diterbitkan.

Pada awalnya, Rumphius menulis naskahnya dalam bahasa Latin dengan judul Herbarium Amboinense, tetapi kemudian diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda menjadi Amboinsche  Kruidboek.  Buku  ini  memberikan  deskripsi  tumbuh-tumbuhan  yang  umum dijumpai di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, baik itu berupa pohon, perdu, semak, maupun tumbuhan air. Deskripsinya   mencakup nama-nama jenis tumbuhan dalam berbagai bahasa (Latin, Belanda, Melayu, dan bahasa-bahasa lokal di Maluku), habitatnya, pemanfaatannya dan juga hewan dan serangga yang berasosiasi dengannya. Karya besar Rumphius itu terbit sebelum Linnaeus dengan karyanya Species plantarum (1753) dijadikan sebagai titik referensi awal dalam sistem penamaan atau nomenklatur tumbuhan yang kita kenal sekarang ini. Oleh karena itu nama-nama ilmiah yang diberikan Rumphius kemudian banyak perlu direvisi. 

Rumphius juga meggambarkan produk-produk  yang dapat dihasilkan dari tumbuhan tertentu, lokasi dimana bisa dijumpai, dan bagaimana cara membudidayakannya. Selain itu ia juga memberikan gambaran tentang tumbuhan yang mempunyai kaitan dengan tradisi atau adat istiadat penduduk setempat.

Mengenai naskah   D’Amboinsche Rariteitkamer,   Rumphius banyak memberikan deskripsi mengenai jenis-jenis hewan laut yang terdapat di sekitar Ambon seperti udang, kepiting, kerang, siput, bintang laut, bulu babi (sea urchin), karang dan lainnya. Selain itu, juga mencakup beberapa hal mengenai mineral dan peninggalan  pra-sejarah  yang ditemukannya di sekitar Ambon. Naskahnya kemudian diterbitkan oleh François Halma di Amsterdam tahun 1705. Rumphius mampu menuliskan sesuatu  dengan  gaya  yang memukau misalnya dalam menggambarkan kehidupan hewan, sebaran geografinya, pemanfaatannya oleh masyarakat pribumi, dan sebagainya. Demikian pula bagaimana hewan laut melekat di substratnya, atau adaptasinya dengan warna sesuai lingkungannya.

Gambar 3. Rumah tinggal Rumphius di Ambon, dipotret sekitar tahun 1910. (id.wikipedia.org)

Ia juga menggambarkan kehidupan cacing yang disebut “cacing wawo” (Lycidice oele), yang siklus hidupnya sampai sekarang pun masih diselimuti misteri. Cacing laut ini muncul hanya sekali setahun dalam populasi yang luar biasa banyaknya dan terjadi hanya pada hari ketiga atau keempat setelah bulan purnama di bulan Februari atau Maret. Munculnya dimulai setelah matahari terbenam sampai keesokan harinya setelah matahari terbit. Setelah itu cacing ini pun lenyap dan baru akan muncul kembali tahun berikutnya dalam siklus yang sama. Pada saat itu penduduk setempat memanen cacing itu secara besar-besaran yang merupakan bahan makanan istimewa. Bagaimana siklus itu bisa terjadi hanya sekali dalam setahun setelah bulan purnama merupakan pertanyaan yang hingga sekarang pun belum dapat terungkap dengan jelas.

Selain mengenai hewan laut, Rumphius juga mengungkapkan beberapa hal mengenai mineral, geologi dan objek-objek pra-sejarah secara singkat. Menurut seorang tokoh yang tenar dalam arkeologi Nusantara, Heine-Geldern (1945), Rumphius adalah ilmuwan Eropa pertama yang mempunyai perhatian akan masalah prasejarah di negeri ini. Dalam buku  D’Amboinsche Raiteitkamer, Rumphius memberikan tempat satu bab khusus untuk membahas kapak batu dan satu bab lainnya untuk kapak perunggu dari zaman pra-sejarah.

Gambar 4. Kiri: Para pejabat Hindia Belanda meletakkan karangan bunga di Monumen Rumphius, sekitar tahun 1930. Monumen ini kemudian hancur dilanda bom dalam Perang Dunia II. Kanan: Monumen Rumphius dibangun kembali tahun 1996 dan direlokasi di halaman SMA Xaverius, Jalan Pattimura, Ambon.

Hanya ada satu naskah Rumphius yang diterbitkan ketika ia masih hidup, yakni laporannya  yang berjudul  “Waerachtigh  Verhael  van  der  Schierlijke  Aerdbevinge”  (Kisah Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat), yang dicetak tahun 1675. Laporan itu menguraikan secara rinci peristiwa gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang menghantam Ambon dan sekitarnya pada tanggal 17 Februari 1674 yang merenggut korban lebih 2.200 jiwa. Bencana ini dimulai  pada malam hari ketika masyarakat Cina di Ambon sedang ramai merayakan hari raya mereka. Dilaporkannya bumi bergerak bagai berayun-ayun, lonceng gereja berdentang sendiri, rumah-rumah runtuh, bukit longsor, tanah merekah lebar, jembatan runtuh, banjir dimana-mana, laut pun mengering kemudian disusul gelombang dahsyat menghantam desa-desa di tepi pantai, mayat-mayat  bergelimpangan  dimana-mana,  manusia  yang  panik  dan  tak  berdaya.  Ini merupakan laporan tertulis tertua mengenai gempa dan tsunami di Indonesia. Bencana itu juga mengakibatkan Rumphius kehilangan istri dan seorang putrinya yang tertimpa reruntuhan dinding yang roboh.

Menjelang usianya yang semakin senja, dari rumahnya di Pulau Ambon, ia dengan gairah melakukan banyak korespondensi dengan berbagai tokoh-tokoh terkemuka, baik di Asia maupun di Eropa. Ia pun menjadi cukup tenar dan akhirnya diangkat sebagai anggota Academia Naturae  Curiosorum  di Vienna  tahun  1681.  Akademi  ini  memberikan  gelar  penghargaan Plinius Indicus   kepadanya, yang sangat dibanggakan olehnya. Ia akhirnya berpulang pada tanggal 15 Juni 1702 dalam usia 75 tahun.

Rumphius memang lahir sebagai orang Jerman, kemudian menjadi warga Belanda, dan setelah tinggal selama 50 tahun sampai akhir hayatnya menyatu dengan alam dan lingkungan Ambon, boleh dikatakan ia pun sudah menjadi orang Ambon. Untuk mengenang jasanya Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendirikan sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen Rumphius. 

Monumen Rumphius ini kemudian hancur dilanda bom dalam Perang Dunia II yang lalu.  Di kemudian hari monumen Rumphius dibangun kembali dan direlokasi di halaman Sekolah SMA Xaverius, Jalan Pattimura,  Ambon. Monumen Rumphius yang baru ini diresmikan oleh Walikota Madya Ambon, Johanes Sudiono, tanggal 22 April 1996.

Di samping itu, dapat dicatat bahwa enam mahakarya Rumphius yang sangat bersejarah itu  kini terdapat pula dalam koleksi Perpustakaan Rumphius yang terletak di Jalan Pattimura, di samping Katedral, Jalan Pattimura, Ambon,



----- Anugerah  Nontji (22/01/2017)


PUSTAKA

Buijze, W. 1998. R. E. Rumphius: Waerachtigh Verhael, van der Schriekelijke Aerdbevinge.Dutch transcription and Edition (with   an English   and Indonesian Translation). Nedelandse Ambassade.
Heine-Geldern, R. von. 1945. Prehistoric research in the Netherlands Indies. In Honig, P. & F.

Andersen (Editors). The Science and Scientist in the Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Suriname and Curacao. New York: 129-167.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta: 356 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Pangemanan, F. H. 2012. Enam mahakarya Rumphius tersimpan di Perpustakaan Rumphius

Ambon. Harian Suara Maluku 24 Februari 2012. 
Sirks, M. J. 1945. Rumphius, the blind seer of Amboina. In Honig, P. & F. Anderson (Eds.).

Science and Scientists in Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Surinama and Curacao, New York: 295-308.

van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 30-41

Veldkamp, J. F. 2011. Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702), the blind seer of Ambon. Garden’s Bulletin Sngapore 63 (1&2): 1-15

Zanefeld, J. S. 1950. A review of three centuries of physiological work and collectors in Indonesia (1650 – 1959). Organization of Scientific Research 21: 1-16.

Rabu, 18 Januari 2017

Samuel Fallours adalah seorang Belanda kelahiran Rotterdam.  Pada tahun 1703 ia  berlayar  ke  Hindia  Belanda  (Nusantara)  dan  memulai  kariernya  sebagai tentara Kompeni (VOC/ Vereenigde Oostindische Compagnie) dan tinggal di Batavia (Jakarta). Pada bulan Juni 1706   ia dipindahkan ke Ambon dan betugas sebagai pengawal rumah-jaga di Benteng Victoria. Dari bulan September 1706 hingga Juni 1712 ia ditunjuk sebagai pembantu pendeta di Ambon dan bertugas melayani pengunjung untuk kesehatan  (krankbezoeker)  bagi  penduduk  Ambon.  Tahun  1712  ia  meninggalkan  Hindia Belanda dan berlayar pulang kembali ke Belanda.

Gambar 1. Berbagai biota laut dari perairan Maluku dalam lukisan Fallours.

Selama kediamannya di Ambon (1706-1712) ia berkesempatan menyalurkan bakat seninya dengan membuat banyak lukisan yang indah dengan objek utama biota laut sepeti ikan, kepiting, dan udang. Selain itu ada juga tentang serangga. Ketertarikannya pada biota laut itu didorong oleh kenyataan bahwa biota laut yang dijumpainya di Ambon sangat   beragam dan indah,  sangat  berbeda  dengan apa  yang  ada  di  negerinya  di  Belanda.  Lukisan-lukisannya dengan warna-warni yang indah banyak menjadi koleksi para elit Kompeni dan para hartawan di Belanda.
Gambar 2. Berbagai jenis ikan di perairan Maluku dalam lukisan Fallours

Gambar 3. Ikan lepu tembaga dalam lukisan Fallours (kiri) dan yang sebenarnya (Sinanceja horrida) (kanan)

Ia  mengklaim  bahwa  lukisan-lukisannya  tentang  biota  laut  di  Ambon  itu  dibuat berdasarkan  apa yang diamatinya  dalam alam aslinya. Namun dalam kenyataannya tidaklah selalu  seperti  itu.   Ia  sering  menyimpang  dengan  mengubah  tampilan  objek  lukisannya mengikuti imajinasinya atau khayalannya sendiri agar lukisannya tampak lebih menarik. Jadilah banyak tampilan lukisan biota laut yang dibuatnya tidak lagi mencerminkan bentuk dan warna yang sebagaimana aslinya tetapi telah menampung imajinasi atau khayalannya. Ia lebih merupakan pelukis surealis yang tak mau terkekang oleh berbagai aturan dan logika. Lukisan seekor ikan kepe-kepe bendera misalnya, dicantumkan pada tubuhnya ada sebuah gambar hati/ love  (Gambar 1), yang sebenarnya tak pernah ada dalam alam sejatinya.   Gambar tangkur kuda (Syngnathoides)  yang tubuhnya memanjang,  dilukisnya dalam  bentuk  berpilin  warna-warni (Gambar 4). Gambar-gambar yang dibuatnya kemudian dikumpulkan oleh Louis Renard terdiri dari 100 lembar dengan 415 gambar ikan dan 41 krustasea yang kemudian  dicetak di Belanda tahun 1719 dengan judul “Poissons, Ecrevisses et Crabes de Diverses Couleurs et Figures Extraordinaires” (Ikan, Udang dan Ketam dengan Aneka Warna dan Bentuk yang Luar Biasa). Karya besar ini dilihat dari segi artistik dan kesejarahan merupakan salah satu karya terbaik yang pernah ada dalam kaitannya dengan sejarah alam (natural history), meskipun ilustrasi detailnya banyak yang kurang cermat.

Gambar 4. Tangkur buaya dalam lukisan Fallours (atas) dan yang sebenarnya (Syngnathoides biaculeatus) (bawah).

Tak kurang kritik dilontarkan terhadap lukisan Fouler ini karena telah  mencampur- adukkan kenyataan dan imajinasinya. Tetapi sebagian    ilmuwan kontemporer tetap menghargainya karena dari lukisannya tentang ikan misalnya, sampai kini pun sebagian besar masih dapat dikenali dan diidentifikasi sampai ke    tingkat genus ataupun spesies. Bagaimanapun, lukisannya telah memberi sumbangan akan perjalanan sejarah alam kita, khususnya mengenai lingkungan Ambon dan sekitarnya.

Salah  satu  lukisannya  yang  banyak  menarik  perhatian  adalah  mengenai  dugong (duyung), yang sering dirujuk sebagai lukisan tertua di Indonesia yang berkenaan dengan mamalia laut ini, yang diberinya judul “Sirenne” (Gambar 5). Fallours menyatakan bahwa ia telah mengamati satu mahluk aneh yang disebutnya sebagai “Sirenne”, yang  dicoba pelihara dalam suatu bak sampai akhirnya mati setelah empat hari kemudian. Disebutkan bahwa mahluk aneh ini tertangkap di Pulau Buru yang masih termasuk Propinsi Ambon ketika itu.  Panjangnya adalah  59  inci  (sekitar  1,5  m)  dan  bentuknya  memanjang.  Kadang  kala  mahluk  itu mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus. Telah dicoba untuk memberinya makan berupa ikan kecil, kerang, ketam, dan lain-lain, tetapi ditolaknya. Setelah hewan itu mati, ditemukan kotoran seperti tinja kucing di dasar bak. Pengamatan Fallours tentang hewan laut itu menunjukkan bahwa mahluk ini bukanlah ikan, tetapi mempunyai banyak persamaan dengan manusia. Pengamatannya dan imajinasinya dipadu dan diperkaya dengan dongeng tentang duyung yang berupa mahluk setengah manusia dan setengah ikan, akhirnya menghasilkan lukisannya  yang  diberinya  judul  “Sirenne”  itu,  yang  memang  berpenampilan  setengah perempuan dan setengah ikan.  Bagaimana pun, itu merupakan lukisan tertua di Indonesia yang berkenaan dengan dugong dan hingga sekarang sering dirujuk dalam berbagai publikasi.

Gambar 5. “Sirenne” dalam lukisan Fallours (atas) dan Dugong dugon (bawah)
Masa Fallours boleh dikatakan bagian akhir dari era dimana dongeng, imajinasi dan ilmu pengetahuan (science) bercampur mewarnai perkembangan sejarah alam (natural history) di negeri ini. Berikutnya datanglah masanya Rumphius, kemudian Pieter Bleeker yang sudah menerapkan pendekatan ilmiah yang lebih lugas dan akurat dalam penggambaran dan deskripsi biota laut di Nusantara dalam karya-karya agung mereka.


PUSTAKA
Barley, S. 2010. Samuel Fallours and his fantasy fish. www.newscientist.com.

de Iongh, H. H., M. Hutomo, M. Moraal and W. Kiswara. 2009.  National conservation strategy and action plan for the dugong in Indonesia. Part I. Scientific Report, Institute of Environmental Sciences Leiden and Research Centre for Oceanography, Jakarta: 38 pp.

Nontji, A. 2012. Dugong bukan putri duyung. Yayasan Lamun Indonesi: 125 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. Olena, A. 2014. Fantastical fish, circa 1719. www.the-scientist.com.

Sample Text

Post Top Ad

Author Details

Video of the Day

Our Team

Post Top Ad

Know us

Contact us

Nama

Email *

Pesan *

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget