Sabtu, 04 Februari 2017

Ketika Perang Dunia II meluas ke Pasifik tahun 1941,  militer Jepang dalam waktu singkat menggilas beberapa negara Asia Tenggara. Pada pertengahan bulan Februari 1942, pasukan Jepang mendarat di Jawa. Belanda yang telah menjajah Nusantara selama beratus tahun, pada tanggal 9   Maret 1942 akhirnya menyatakan takluk menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Pernyataan menyerah itu  ditandatangani di Pangkalan Udara Kalijati, Subang (Jawa Barat) oleh Jenderal Ter Poorten dari pihak Belanda, di bawah kesaksian Jenderal  Imamura dari pihak Jepang.  Gubernur Jenderal Belanda, van Starkenborgh, ditawan oleh tentara   Jepang, dan dengan demikian tamatlah sudah riwayat kekuasaan Belanda di Nusantara.

Orang-orang Belanda yang dulu berkuasa di negeri ini, ada yang bisa meloloskan diri ke Australia, tetapi kebanyakan dapat ditawan oleh Jepang, dijebloskan dalam kamp-kamp interniran (tempat penahanan), melaksanakan kerja paksa dan siksaan yang menghinakan. Nasib Laboratorium voor het Onderzoek der Zee   (LOZ) atau Laboratorium Penelitian Laut, yang dulu dirintis oleh Belanda sejak tahun 1905 di Pasar Ikan, Jakarta, pun ikut terpuruk bagai menuju kehancurannya.

Karena lokasi LOZ yang langsung berdampingan dengan Pelabuhan Pasar Ikan (Sunda Kelapa) yang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam situasi perang, maka LOZ pun masuk dalam kawasan terlarang, sebagai zona militer. Segala kegiatan penelitian pun lumpuh, tak ada lagi  yang peduli dengan  fungsi  LOZ.  Kondisi  LOZ menjadi sangat menyedihkan. Laboratorium, perpustakaan, dan akuarium air laut tak ada lagi yang mengurus. Sebagian besar koleksi biota laut, arsip, buku-buku dan alat-alat optik hilang lenyap.

Agustus 1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dihantam bom atom oleh pasukan sekutu, Jepang pun menyerah yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Tetapi situasi   damai tak kunjung tiba.  Belanda berusaha untuk  kembali menguasai negeri ini, tetapi mendapat perlawanan sengit dari rakyat Indonesia yang telah bangun    untuk    mempertahankan kemerdekaannya.    Perjuangan    revolusi    fisik    untuk mempertahankan kemerdekaan dan eksistensi negara Republik Indonesia terus bergelora. Tetapi nasib laboratorium penelitian laut di Pasar Ikan itu masih terus terpuruk dan  terabaikan.

Belanda baru mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 setelah penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Momen itu mengantarkan Indonesia untuk mulai   berbenah di segala bidang. Laboratorium voor het Onderzoek der Zee (LOZ) di Pasar Ikan, Jakarta, yang telah terbengkalai semasa perang, mulai akan dihidupkan kembali, dan namanya pun resmi menjadi Lembaga Penyelidikan Laut (LPL), bernaung di bawah Kebun Raya Bogor, Kementerian Pertanian. Tetapi ironisnya, tak seorang pun bangsa Indonesia yang pernah terlatih dan terdidik dalam bidang oseasongrafi.  Belanda tak pernah menyiapkan generasi penerus bagi orang Indonesia untuk bidang ini.  Dr. Hardenberg, seorang Belanda yang pernah menjadi direktur LOZ di zaman sebelum Perang Dunia II, kini kembali lagi dan diangkat menjadi direktur di Laboratorium Penyelidikan Laut di Pasar Ikan, Jakarta. Tetapi tentu saja ia kini berada dalam posisi yang sangat berbeda, suasana Indonesia yang telah merdeka. Ia pun kini bekerja sebagai tenaga profesional untuk Republik Indonesia, dibantu seorang oseanografer muda, P.C. Veen.

Masalah paling mendasar adalah bagaimana membangun LPL dalam keterbatasan infrastruktur dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas kala itu. Ternyata pertanyaan yang muskil ini dapat dijawab dengan solusi yang tepat lewat strategi  memfokuskan segala upaya hanya pada satu aspek kajian saja yakni salinitas (kadar garam). Hal ini sejalan dan mengacu pula pada rekomendasi dari IPFC (Indo-Pacific Fisheries Council, Food and Agriculture Organization) saat itu, bahwa kajian-kajian oseanografi masih sangat dibutuhkan untuk menunjang pengembangan perikanan di kawasan Indo-Pasifik.

Pada saat program itu mulai diluncurkan tahun 1949, Indonesia belum mempunyai kapal riset. Namun keadaan itu dapat diatasi dengan membina kemitraan berasas sukarela dengan kapal-kapal niaga yang secara reguler melayari seluruh pelosok perairan Nusantara. KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), yang saat itu merupakan perusahaan pelayaran terbesar di Indonesia, bersedia mengerahkan kapal-kapalnya membantu mengambilkan sampel-sample air laut permukaan di sepanjang jalur-jalur yang rutin dilayari kapal-kapalnya di seluruh Nusantara. Sampel-sampel air laut itu akan diteruskan ke LPL di Pasar Ikan, Jakarta, untuk ditentukan   salinitasnya.   Perusahan pelayaran   lainnya   juga   ikut   serta   seperti      KJCPL (Koninklijke Java China Paketvaart Lijnen) yang secara reguler melayari jalur Hongkong- Singapur-Jakarta-Makassar. Ada juga perusahan pelayaran Belanda, SMN (Stoomvaart Maatschapij Nederland),   dan perusahan pelayaran Denmark, Maersk Line yang terkenal mengoperasikan kapal-kapal kargo. Jawatan Pelayaran RI, dibawah Kementerian Perhubungan, juga mengikut-sertakan kapal-kapalnya dalam program ini. Selain itu para penjaga mercu suar di pulau-pulau terpencil juga dilibatkan untuk secara rutin mengumpulkan sampel air secara berkala,  yang  kemudian  akan  dijemput  oleh  kapal-kapal  perambuan yang secara  rutin menyambangi mercu suar itu untuk pasokan kebutuhan hidup dan pergantian petugas jaga. 

Dengan demikian terbentuklah jejaring (networking) yang cukup luas untuk mendapatkan data salinitas di Nusantara, baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Program ini berjalan dari tahun 1949 hingga 1954.

Gambar 1. Dalam kurun tahun 1949-1954 berbagai perusahan pelayaran ikut serta mengerahkan kapal-kapalnya dalam program pengambilan sampel salinitas di perairan Nusantara. Kapal-kapal negara dan mercu-mercu suar di pulau-pulau  terpencil juga dilibatkan. 

Gambar 2. Sebaran rata-rata salinitas di permukaan perairan Nusantara dan sekitarnya pada bulan Februari dan Agustus. Warna biru = air samudra; hijau = air campuran; kuning = air pesisir; merah = air “sungai” (Wyrtki, 1956). 
Lembaga Penelitian Laut di Pasar Ikan itu menjadi sangat sibuk menerima ribuan botol sampel  air laut  setiap  bulannya  untuk  ditetapkan  salinitasnya.  Dalam  kurun  1950-1954 diperoleh  total sekitar  147.000  sampel  salinitas,  yang menjadi  dasar penyusunan  peta-peta sebaran dan karakteristiknya.  Sampel air laut yang tiba di LPL, salinitasnya ditentukan dengan titrasi kimia (metode Knudsen). Untuk itu sejumlah teknisi pribumi dilatih khusus untuk melaksanakan tugas besar tersebut. Mengantisipasi jumlah sampel yang amat besar ini, maka Arnold   (1951) kemudian mengintroduksi metode mikro dalam titrasi kimia untuk penetapan salinitas, yang memerlukan volume sampel air laut yang cukup 1 ml saja, dengan akurasi 0,1 ‰ (per mil, atau g/kg).   Metode ini dipandang sangat cocok untuk menangani sampel yang berjumlah sangat besar. Akurasi 0,1 ‰ ini dipandang sudah memadai untuk keperluan ini, mengingat salinitas di perairan Nusantara mempunyai variasi musiman yang besar. Pada saat itu belum zamannya komputer, data-base salintasnya dibangun berdasarkan sistem kartu. Data- base ini kemudian banyak dimanfaatkan untuk berbagai kajian oseanografi Nusantara.

Dari data yang dapat dihimpun, dibuatlah peta-peta sebaran salinitas, bulan demi bulan, yang dapat menggambarkan ciri-ciri persebaran  salinitas di perairan Nusantara dan sekitarnya, yang ternyata sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim (monsoon), limpahan air dari sungai- sungai,   dan perubahan karena presipitasi (hujan) dan evaporasi (penguapan). Musim barat (Desember-Februari) merupakan musim hujan di kawasan Indonesia bagian barat, yang menyebabkan banyak sungai-sungai mengalirkan airnya ke laut, dan menurunkan salinitas di kawasan pantai.   Sebaliknya pada musim timur (Juni-Agustus) yang kering, air samudra dari Pasifik lebih banyak mewarnai ciri-ciri persebaran salintas di peraairan Nusantara. Gambar 2 menunjukkan rata-rata persebaran salinitas perairan Nusantara dan sekitarnya pada bulan Februari yang basah, dan bulan Agustus yang kering sebagaimana yang disarikan oleh Wyrtki (1956).  Wyrkti menggolongkan salinitas di perairan Nusantara dalam empat golongan:
- air samudra (oceanic water), dengan salinitas lebih dari 34 ‰;
- air campuran (mixed water), dengan salinitas 32-34 ‰, yang merupakan campuran air samudra dan - air pesisir, daerah liputannya sangat luas;
- air pesisir (coastal water), dengan salinitas 30-32 ‰;
- air “sungai” ( “river” water), di bawah 30 ‰, yang terdapat di depan muara-muara sungai besar.
Kajian mengenai salinitas ini bukan saja penting dilihat dari aspek oseanografinya tetapi juga sangat bermanfaat bagi dunia perikanan.  Beberapa jenis ikan di Nusantara ini diketahui beruaya (migrasi) mengikuti pola perubahan persebaran salinitas.   Ikan layang (Decapterus russelli)  di  Laut  Jawa misalnya,  beruaya  mengikuti  pola  sebaran  selang  salinitas  yang disukainya (Hardenberg, 1937; Burhanuddin et al. 1983).


PUSTAKA

Arnold, G. H. 1951. Simple method for determining the salinity in the large numbers of 1 ml seawater samples based on the principles of the Knudsen method. Journal of Scientific Research Indonesia, 2: 30-37.

Burhanuddin, A. Djamali, S. Martowewojo & R. Moeljanto. 1983. Evaluasi tentang potensi dan usaha pengelolaan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp.). Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta.

Hardenberg, J. D. F. 1937. Preliminaary report on a migration of fish in the Java Sea. Treubia,16: 295-300.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta, Cetakan keempat: 356 hlm.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian  Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Veen, P. C. 1951. Surface salinities in the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Pub.Org. Sci. Res. Indonesia. Pub. 33: 20 pp.

Veen, P. C. 1953. Preliminary charts of the mean salinity of the Indonesian Archipelgo and adjacent waters. Bull. Org. Sci. Res. Indonesia. Pub. 17. 47 pp.

Wyrtki,  K.  1956.  Monthly  charts  of  surface  salinity  in  Indonesia  and  adjacent  waters.  J.
Conseil, 21 (3): 268-279.

Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA Report, volume
2.  The  University  of  California,  Scripps  Institutions  of  Oceanography,  La  Jolla, California.

Sample Text

Post Top Ad

Author Details

Video of the Day

Our Team

Post Top Ad

Know us

Contact us

Nama

Email *

Pesan *

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget