Minggu, 29 Januari 2017

Pieter Bleeker   adalah seorang ilmuwan yang mempunyai nama besar dalam bidang iktiologi (ilmu tentang ikan), tidak saja bagi Nusantara tetapi juga bagi dunia. Ia menempuh perjalanan hidup dari awal yang sangat sederhana dan penuh kesulitan hingga akhirnya mencapai ketenaran yang legendaris.

Pieter Bleeker dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1819 di Zaanstad, sebuah kota kecil di sebelah utara Amsterdam,   dan meninggal pada tanggal 12 November 1878 di Den Haag, Belanda,  pada  usia  59  tahun.    Keluarganya  berasal  dari  kelas  menengah,  tidak  mampu membiayai pendidikannya setelah usianya 12 tahun. Tetapi berkat hubungan pertemanan yang baik antara keluarganya dengan seorang ahli farmasi, ia mendapat bantuan untuk dapat meneruskan pendidikannya hingga   bisa mendapat ijazah sebagai apoteker (pharmacist) dan pada usia 22 tahun sebagai dokter bedah sipil, yang kemudian menjadi dokter wilayah (country doctor).

Dalam pendidikan berikutnya ia ternyata sangat berminat dalam kajian fisiologi dan zoologi. Ia banyak membaca topik dalam bidang-bidang ini di perpustakaan umum di Haarlem. Ia berpikir bahwa tampangnya yang masih sangat belia rasanya tak begitu cocok untuk menjadi dokter praktek. Karena minatnya lebih besar pada sejarah alam (natural history) dari pada kedokteran,  maka  ia  pun  melamar  pekerjaan  di  Rijksmuseum  van  Natuurlijke  Historie  di Leiden, tetapi lamarannya ditolak. Ia kemudian memutuskan untuk studi kedokteran di Paris sepanjang ia masih bisa membiayai dirinya sendiri. Enam bulan kemudian ia pulang kampung, dan mengulangi lagi melamar pekerjaan di Rijksmuseum di Leiden, tetapi lagi-lagi ia gagal. Ia akhirnya memutuskan untuk menjadi perwira kesehatan pada Tentara Hindia Belanda yang beroperasi di Nusantara.

Tahun 1842, ia tiba di Batavia (Jakarta) dan menduduki posisi sebagai dokter bedah militer kelas tiga. Bleeker digambarkan sebagai seorang yang penuh energi, mempunyai kecerdasan yang cemerlang, dan sangat bersemangat untuk mengejar ilmu pengetahuan dan ngotot untuk mencapai tujuannya. Semua persyaratan itu cocok untuk menunjang keberhasilannya dalam studi di bidang lingkungan alam yang tidak banyak dikenal orang saat itu. Sementara itu ia pun sudah  berada di Nusantara yang merupakan pusat keanekaragaman hayati  dunia.  Kegiatan  studi  atas  minat  khususnya  itu    hanya bisa  dilakukannya  di  luar waktunya sebagai dokter bedah militer.

Gambar 1. Dua wajah Pieter Bleeker. Kiri: sebagai perwira muda dan sebagai dokter bedah militer Hindia Belanda di Batavia (Jakarta). Kanan: sebagai iktiologist (ahli ikan) yang tersohor.

Ketika ia mulai mengidentifikasi jenis-jenis ikan di Batavia, ia segera mendapatkan banyak jenis (species) ikan yang belum dikenal dalam ilmu pengetahuan. Ia merasakan bahwa disinilah terbuka peluang dan bidang yang sangat luas yang dapat ditekuninya dan yang bisa mendorongnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi mengoleksi ikan dapat dilakukan tanpa menyita waktu yang banyak (bisa dikoleksi dari pasar ikan), biayanya murah, dan mudah pula diawetkan. Hal-hal ini menyebabkan Bleeker tak tertahan lagi untuk secara serius menggeluti bidang iktiologi (ilmu mengenai ikan).

Bleeker menjalani sebagian besar kariernya di Batavia (Jakarta), ibu-kota Hindia Belanda, yang dihuninya selama 18 tahun (1842 – 1860). Di Batavia ketika itu telah tumbuh perhimpunan (Society) yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, yang bagi Bleeker sangat menguntungkan dan mendukungnya. Ia mengambil inisiatif menerbitkan jurnal pertama dalam bidang ilmu pengetahuan alam di Hindia Belanda bernama Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie.

Gambar 2.   Petikan ilustrasi dari buku  Atlas Ichthyologique, karya Pieter Bleeker. 
Namanya yang makin tenar dalam ilmu pengetahuan, posisinya yang semakin penting dalam kedokteran  militer,  dan  juga  sebagai  pengelola  Bataafsch  Genootschap  (Batavian Society) membuat hubungannya makin dekat dengan para elit kekuasaan dan poltik di Hindia Belanda. Tetapi kepribadiannya yang kuat justru menimbulkan juga konflik dengan para elit politik karena kritik-kritiknya yang tajam terhadap Pemerintahan Hindia Belanda. Ia akhirnya “disingkirkan” dari ibukota Batavia, ditugaskan di daerah-daerah pinggiran di Jawa, dari tahun 1847 sampai 1849.


Gambar 3. Kerondong raksasa (Gymnothorax  javanicus), spesies kerondong (moray) terbesar ini pertama kali “ditemukan”, dideskripsikan dan diberi nama ilmiah oleh Bleeker pada tahun 1859. Predator ini hidup di lubang-lubang besar dalam terumbu karang daerah tropis. Panjang maksimumnya tiga meter dan berpotensi menyerang penyelam jika merasa terganggu. (dody94.wordpress.com/2010) 
Selama tahun-tahun itu, Bleeker  menjadi sangat sibuk dengan kegiatan kedokterannya, hingga waktunya hanya tersisa sedikit untuk menangani iktiologi kecintaannya. Tetapi ketika ia balik ke Batavia, ia menghidupkan kembali komunitas ilmiah disini yang sempat terbengkalai. 

Lewat jejaring dengan handai taulannya dan   para pejabat di berbagai penjuru Nusantara ia meminta bantuan untuk mengoleksi ikan-ikan di daerah masing-masing dan mengirimkannya ke Batavia. Dari para nelayan pun ia mendapat banyak sumbangan sampel ikan. 

Selama masa tugasnya, Bleeker tak pernah meninggalkan Pulau Jawa, kecuali pada tahun 1855, ketika ia harus mendampingi Gubernur Jenderal Duijmaer van Twist melakukan perjalanan dinas ke Sulawesi dan Maluku. Selama perjalanannya itu ia tak lupa mengoleksi banyak sampel ikan dari daerah-daerah yang dikunjunginya.

Tahun  1860  ia  mengambil  cuti  panjang  dan  kembali  ke  negeri  Belanda.  Tujuan utamanya mengambil cuti panjang ini adalah untuk menyiapkan penerbitan bukunya yang kelak amat tersohor, Atlas Ichthyologique des Indes Orientales NĂ©erlandaises, sering disingkat Atlas Ichthyologique, yang merupakan suatu rangkuman komprehensif akan studinya yang dilakukan selama bermukim di Hindia Belanda (Nusantara).

Gambar 4. Kurang lebih satu dari setiap enam jenis ikan karang di Indonesia, pertama kali dideskripsikan dan diberi nama oleh Bleeker. (Allen & Adrim, 2003).

Fasilitas percetakan di Batavia kala itu masih terbatas dan tidak memadai untuk menghasilkan kualitas seperti yang diharapkan oleh Bleeker. Ia sebenarnya telah mulai menyiapkan proyek pribadinya ini sejak tahun 1845, tiga tahun setelah ia tiba di Batavia.

Ketika cuti panjangnya berakhir, Bleeker bukannya kembali ke Batavia, tetapi malah mengajukan permohonan pensiun. Maksudnya agar ia dapat berkonsentrasi penuh dalam penyelesaian buku Atlas Ichthyologique-nya itu. Di samping itu ia juga akan memanfaatkan waktunya  untuk  mempelajari koleksi-koleksi  ikan  yang  disimpan  di  banyak  museum  di berbagai negeri. Ia juga berkorespondesi dengan semua tokoh iktiologi dunia pada zaman itu.

Materi yang akan dibukukannya amat banyak, disertai lukisan atau gambar yang sangat indah. Naskah Atlas Ichthyologique disiapkan dengan sangat teliti dengan bantuan artis Ludwig Speigler dan Chris Engel, hingga dapat menampilkan gambar-gambar ikan yang tidak saja cantik tetapi juga dengan detail yang sangat cermat, padahal para artis itu belum pernah melihat ikan-ikan itu dalam keadaan hidup.

Selama  hidupnya,  Bleeker  juga  menjual  beberapa  koleksinya  yang  unik  kepada beberapa museum antara lain ke British Museum.  Tetapi ia menyimpan sendiri koleksinya yang amat banyak itu yang berjumlah sekitar 18.000 spesimen. Sebagian besar koleksinya itu kemudian disimpan di Rijksmuseum van Natuurlijke Historie di Leiden, sejak wafatnya di tahun 1878.

Pada saat ia wafat, telah terbit delapan volume dan separuh dari volume ke sembilan dari Atlas Ichthyologique yang direncanakan akan terdiri dari 14 volume. Sebagian dari naskah- naskahnya yang terakhir kemudian hilang, tetapi banyak bagian lainnya bisa diselamatkan, dan baru pada tahun 1983 seluruh sisa gambar-gambarnya dapat diselamatkan dan diterbitkan oleh Smithsonian Institution. Karya agungnya ini diterbitkan antara tahun 1862 hingga kematiannya tahun  1878,  dihiasi  dengan  lebih  1.500  ilustrasi  mengenai  ikan-ikan  di  Nusantara  dan sekitarnya.

Selain itu Bleeker juga menulis amat banyak makalah ilmiah, lebih dari 500 jumlahnya, yang sebagian besar mengenai ikan-ikan Nusantara. Ia telah mendekripsikan 1.925 jenis (species) baru, diantaranya 743 masih valid dan 520 marga (genus) baru, diantaranya 298 masih valid (Carpenter, 2007). Selain itu Bleeker juga menulis amat banyak makalah dalam berbagai bahasa  seperti  Perancis,  Belanda,  Latin  dan  juga  Inggeris.  Sebagian  besar  makalahnya mengenai ikan-ikan Nusantara. Meskipun minat utamanya adalah iktiologi, ia juga menulis tentang berbagai hal lainnya seperti invertebrata, botani, geologi, antropologi, sejarah dan lainnya.

Peneliti iktiologi generasi sekarang, Allen dan Adrim (2003), menyebutkan bahwa Bleeker sangat pantas diberi julukan sebagai grand-master atau “Bapak” dalam iktiologi Nusantara. Kurang lebih satu dari setiap enam jenis   ikan karang di Nusantara telah dideskripsikan pertama kali oleh Bleeker. John Randall, seorang tokoh iktiologi lainnya yang pernah  meraih  “Bleeker  Award”  tahun  2005 dari  Indo-Pacific  Fish  Conference  bahkan menyebut Bleeker sebagai “the greatest ichthyologist of all time”, tokoh iktiologi paling akbar sepanjang masa. 


PUSTAKA

Allen, G. R. & M. Adrim. 2003. Coral fishes of Indonesia. Zoological Studies 42 (1): 1-72. Cakrawala. 2010. Pieter Bleeker: Bapak Ikan Nusantara. https://dody94.wordpress.com/2010

Carpenter,  K.  E. 2007. A short biography of Pieter Bleeker. The Raffless Bulletin of Zoology
2007. Supplement No. 14: 5-6. 31 Januari 2007. National University of Singapore.

Herre, A. W. C. T. 1945. Research on fishes and fisheries in the Indonesian waters. In Honig, P.
& F. Anderson (eds.). Science and Scientists in Netherlands Indies.  The Boards for the
Netherlands Indies, Suriname, and Curacao, New York: 167-175.

Kottelat, M. 2011.   Pieter Bleeker   in the Netherland East Indies (10 March 1842 – ca. 21
September 1860): new biographical data and chronology of  his zoological publications.

Ichthyol. Explor. Freshwaters, Vol. 22: 22-94.

Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari   Masa ke Masa.   Pusat

Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.

Sample Text

Post Top Ad

Author Details

Video of the Day

Our Team

Post Top Ad

Know us

Contact us

Nama

Email *

Pesan *

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget